Tuesday, March 18, 2008

Up date, Pajak, Rokok, dan Kesehatan

Setelah beberapa teman mengusulkan untuk meng-up date tulisan di blog saya ini. Maka saya memberanikan diri untuk menulis lagi. Sebenarnya saya bukannya malas. Tapi selama ini saya memang sangat sulit untuk menulis. Selalu putus di tengah. Dan berakhir menjadi draf saja di arsip saya. Belum hutang yang menumpuk di bawah meja saya. Ya, hutang untuk membaca buku-buku yang sudah saya beli atau pinjam. Di tambah sekarang saya berusaha disiplin dengan jam kantor. Hehehe, maklum selama ini saya termasuk pegawai yang suka-suka saja kalau masuk kantor. Tetapi setelah bertambah ketatnya pengawasan dari kantor membuat saya harus mendisiplinkan diri saya. Terutama dalam hal kehadiran. Saya berdisiplin juga dikarenakan kesadaran bahwa selama ini saya dibiayai oleh rakyat.

Ya, dari pajak merekalah keringat saya di bayar. Paling tidak saya harus menghargai orang-orang yang sudah meneken kontrak mati dengan perusahaan-perusahaan rokok. Terhitung pada tahun 2006 penerimaan negara dari cukai dan pajak rokok yang merupakan single commodity mencapai Rp 52 triliun. Sebuah angka yang fantastis dibandingkan dengan anggaran kesehatan yang hanya berjumlah 13,6 triliun rupiah atau hanya 6,7% dari APBN 2006. Ternyata negara setelah mempermudah rakyatnya sakit, tidak dapat membuat hal serupa agar rakyatnya sehat kembali.

Belum lagi ada pengurangan Anggaran untuk kesehatan orang miskin pada tahun 2008 berjumlah kurang lebih 2,8 triliun rupiah, berkurang dibanding tahun 2007 yang mencapai 3 triliun lebih. Benar kalau ada ungkapan "kalau miskin jangan sakit". Bagaiamana tidak, baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara jujur mengakui bahwa jumah penduduk miskin di Indonesia masih tinggi, yaitu 16,58 persen atau sekitar 37,17 juta dari total 220 juta penduduk Indonesia. Jika diasumsikan dibagi rata kepada seluruh jumlah penduduk miskin sebanyak 37,17 juta berarti setiap orang hanya kebagian seharga kurang lebih Rp 75.300 per tahun atau sekitar Rp 6.300 per bulan. Bayangkan, kira-kira obat apa yang bisa dibeli dengan harga Rp 6. 300, dan untuk menyembuhkan penyakit apa?

Hal ini mau tidak mau akan berdampak kepada pengurangan jumlah pengadaan untuk obat-obatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Jadi jangan heran bila nantinya saat berobat ke puskesmas menjadi kecewa. Setelah mengantri harus kecewa karena obat yang diresepkan tidak tersedia. Dan eits, jangan marah. Orang miskin di larang marah, apa lagi protes. Tapi bagi yang sudah mendedikasikan diri dengan meneken kontrak mati dengan perusahaan rokok sebaiknya di pikir-pikir lagi. Apa pengorbanan kamu -dengan memberikan paru-parumu untuk diracuni oleh nikotin- sebanding dengan pengorbanan pemerintah untuk menyehatkan rakyatnya?

"Negara atas nama pembangunan mempermudah rakyatnya sakit dan atas nama pembangunan juga mempersulit ketika rakyatnya ingin sembuh"

Wednesday, December 5, 2007

Bu Sarmi

“Adauwww…hiks…”

“Pelan-pelan bu, sakit banget soalnya”

Sambil menahan nafas dan mencoba tidak berisik, aku coba menikmati setiap pijatan Bu Sarmi di bagian betis dan seluruh tubuhku. Ibu Sarmi itu tukang cuci di kosan adik sepupuku merangkap tukang pijit anak-anak kosan di jalan Menukan gang Kepiting Jogya ini. Pokoknya wanita satu ini serba bisalah, alias bisa di suruh apa aja.

“Saya di suruh apa saja mau kok dik, lumayanlah buat nambah-nambah uang belanja” begitu pengakuannya.

“Dibagian kaki keras semua dik, abis dari mana?” Aku cuma bisa nyengir kuda dan langsung saja adik sepupuku nyerocos tanpa diminta “sok siy, nggak pernah jalan jauh malah naik gunung”ujuarnya cemberut sambil keluar kamar.

Aku cuma tersenyum saja. Dia tidak tahu kalau setelah itu aku dan pemanduku yang norak melanjutkan jalan lagi ke Grojogan Sewu di Tawang Mangu. Dan sebelnya pemanduku itu sok tahunya selangit. Dengar saja apa katanya saat perjalanan kesana. “Air terjun di Jawa itu cantik-cantik, gak seperti di Aceh.” “Emang seperti apa siy Grojogan Sewu itu?”tanyaku tidak mau kalah. “Ya yang pasti sewu” ucapnya asbun. Sial pikirku si jelek ini soknya kebangetan dan aku cuma diam saja mendengar jawabannya itu. Lebih baik diam kupikir karena aku tidak menguasai medan. Sambil merengut akupun terus berjalan mengikutinya. Saat membayar retribusi memasuki kawasan Grojogan Sewu aku mulai curiga, kok air terjunnya tidak kelihatan dan pemanduku itu juga terlihat bingung. “Kamu tahu gak siy Grojogan Sewu itu dimana?” dia hanya nyengir dan aku sudah tahu artinya. Kalau tadi itu cuma sok-sok-an dia aja. Dan duh, bikin gondok. Masalahnya kaki masih sakit di bawa turun Lawu, dan untuk menemukan air terjun itu, harus menuruni anak tangga yang sewu juga kali jumlahnya. Dan…

“Anjriiiiiiiiitttttttt….”

“Oh ini yang sewu ya?” ujarku dengan mata membelalak, alis terangkat dan sambil bibir di stel sedemikian rupa.

Ternyata hanya air terjun biasa, bukan maksudku merendahkan tapi ini semua gara-gara pemandu norak itu. Sok tahunya itu. Dan dia cuma tersenyum malu saja sepanjang jalan. Dia mungkin berharap sewu yang mendampingi kata grojogan itu mewakili kenyataannya. Tapi aku gak tahu kenapa tempat yang cukup asri dan cantik itu dinamakan dengan grojogan sewu. Karena air terjunnya hanya satu yang jatuh cantik ke bumi itu. Dan selebihnya hanya air yang mengalir begitu saja dipinggir bukit. Mungkin banyaknya anak tangga di sana yang sewu, aku nggak tahu. Yang pasti kata-kata sewu itu sudah menipuku dan pemandu norak itu. Dan aku harus berjuang keras untuk kembali menapaki satu persatu anak tangga sewu untuk naik keatas lagi. Hiks…

Kembali ke Bu Sarmi. Bu Sarmi ini cukup ramah seperti kebanyakan orang jawa lainnya, dan terbuka bila di tanya apapun. Bahkan tanpa ditanyapun dia akan bercerita panjang lebar. Mungkin untuk sedikit mengurangi beban dalam hidupnya. Dengan suami dan dua orang anak laki-laki yang semuanya tidak bekerja alias pengangguran serta seorang putri yang katanya sudah menikah untung bukan dengan lelaki jawa yang Jogya. Maka beban bu Sarmi bertambah-tambah dengan keadaan itu. Semenjak menikah sampai sekarang bercucu dua, Bu Sarmi-lah yang menafkahi keluarganya. Jenuh, ingin berontak tapi lagi-lagi kewanitaan jawanya membuat dia mengurungkan niat itu.

“Mau cerai sudah ada anak, malu sama orang-orang” ujarnya sambil terus memijat bagian kakiku. “Dasar, orang jogya itu lelakinya pemalas-pemalas dik” dan itu dia katakan sambil memijat keras bagian betisku yang sakitnya minta ampun dan aku cuma diam. Bukan diam tepatnya tapi menahan jeritan dengan menggigit bantal yang menopang kepalaku dengan tubuh terlungkup. Hi, dia mijit kok dendam begitu siy? Jadi geli bercampur sakit.

Lalu pijitannya mulai melemah dan sebaris kalimat pasrah keluar dari mulutnya yang sangat kuingat betul “Saya serahkan semua sama Allah saja dik, biar dia yang membalasnya”. Ya beginilah pikiran orang-orang seperti Bu Sarmi sangat sederhana dan begitu nerimo. Dan entah kenapa, lagi-lagi si Mbah itu bisa menenangkan segala gemuruh, rasa sakit, pahitnya kehidupan ini.

Sosok wanita jawa yang sering aku lihat semua terwujud pada Bu Sarmi. Wanita Jawa, ya wanita Jawa.

“Udah enakkan dik?” tanyanya sambil terus memijit.

“Udah bu”

“Nanti dioles parem aja biar lebih enakan” ujarnya

Dan itulah saat pertama dan terakhir aku bertemu dengannya. Karena setelah itu aku kembali melanjutkan perjalanan menuju Jakarta sambil menumpang KA Progo.

Saturday, September 22, 2007

Satu menjadi Dua or Dua menjadi Satu

Setiap pertemuan merujuk akan adanya perpisahan. Sama akan halnya setiap kehidupan merujuk akan adanya kematian. Selalu ada dua sisi yang saling bertolak belakang namun selalu berdampingan.

Aku dan dia mungkin saling bertolak belakang, namun tetap berdampingan. Setidaknya terus berusaha untuk berdampingan. Dia pernah mengatakan kami bagai satu di bagi menjadi dua atau dua digabungkan menjadi satu. Tak tahu yang mana yang benar namun rasa itu terasa kuat. Rasa kuat untuk saling mengisi, berbagi dan memahami, menjadikan dua itu satu atau satu itu menjadi dua.

Ta, dalam hening malam ini ditemani suara puja-puji itu aku ingin bertanya padamu, bertanya hal yang sering aku ulang hanya untuk memenuhi rasa sesak didada ini. Pertanyaan sama "Masih adakah waktuku dengan nya?". Kau masih dengan senyummu. ah, masa aku bertanya untuk hal remeh begitu denganmu. Sedang urusanmu begitu banyak. Seperti biasa semua kembali kau serahkan kepadaku untuk menjawabnya. Menjawab pertanyaan yang seharusnya memang aku yang menjawabnya. Menjawab bukan dengan just a word, tapi tindakan nyata.

Jejaknya tak mungkin terhapus. Aku malah bisa mengurutkan jejaknya awal sampai akhir. Berawal dari tempatku berdiri lalu terbang keangkasa bersama burung besi raksasa, melewati jalan besi tak ujung, menaiki kotak bermesin, dan berjalan sampai penggik di lawu sana. hihihi...kau ingat semua itukan?

Mencoba untuk berseberangan sudah kita lakukan, apa lagi untuk tidak saling berseberangan. Namun bensin itu hanya menunggu percikan api dan terbakarlah. Lelah? Mungkin itu sudah sering terdengar. Bahkan Ta pun sering kecewa mendengarnya. Melihat sedih ke arah kita, namun kembali dengan senyuman pemberi semangatnya. Ya, semangat sama-sama untuk beritikad baik. bahwa kita adalah Satu menjadi Dua or ...

Sepaket puja-puji dan sepotong doa kusorong dihadapanmu. Berharap pertemuan nanti aku dalam keadaan tidak melow seperti ini lagi...C U Ta, Wasalam...


Saturday, September 15, 2007

Lapar dan Puasa

Puasa tahun ini berasa biasa-biasa saja. Tidak ada yang berubah. Kecuali dirumahku berkurang lagi seorang anggota keluargaku. Adikku tersayang kini sedang menuntut ilmu di kota hujan di pulau Jawa sana. Dan jadwal perkuliahan membuat dia tidak bisa berkumpul bersama kami di Ramadhan tahun ini.

Kota Banda Aceh juga terlihat biasa-biasa saja. Masih seperti tahun-tahun kemarin dalam menyambut puasa. Ritual jalan subuh masih tetap ada. Berjalan-jalan sambil menunggu waktu berbuka juga masih ada. Yang asyiknya kalau jalan-jalan sore itu, sepanjang jalan ada saja yang berjualan makanan buat berbuka. Meriahlah. Dan ritual tarawih dan tadarusan juga masih ada.

Tapi yang apa yang berbeda ya? Rasanya tidak ada yang berbeda. Itu bila Ramadhan tahun lalu di bandingkan dengan Ramadhan tahun ini. Apa lagi bagi si amat. Eh, aku belum cerita ya tentang si amat?

Amat, begitu teman-temannya memanggilnya. Nama Amat di daerahku adalah lumrah. Dan biasanya Amat adalah panggilan untuk anak laki-laki di desa. Amat punya nama asli Muhammad Iqbal dan biasa dipanggil oleh mamaknya Amat. Entah kenapa orang tuanya menamanya Muhammad Iqbal, apa karena orang tuanya sangat mengidolakan Muhammad Iqbal yang seorang sastrawan dan pemikir islam asal Pakistan itu. Tapi sepertinya tidak, karena saat kutanya pada mamak Amat tentang Muhammad Iqbal yang satrawan itu dia tidak mengenalinya. "So nyan? hana turi lon" begitu jawabnya suatu hari padaku, tentu dengan bahasa Aceh yang kental yang kalau diartikan dalam bahasa indonesia kira-kira seperti ini "siapa tuh, nggak kenal saya".

Orang di daerahku banyak menggunakan nama Muhammad untuk anak lak-laki. Lalu di akhir namanya di berikan nama yang berbeda saja. Seperti abang dan adik laki-lakiku pun sama. Nama awalan mereka Muhammad. Tentunya orang tua-orang tua yang memberi nama Muhammad itu ingin anak-anaknya memiliki sifat seperti Nabi Muhammad.

Pertemuanku dengan Amat disuatu siang adalah ketidak sengajaan. Saat itu aku yang sengaja datang kelapangan kota untuk melihat perlombaan panjat pinang yang diselenggaran dalam rangka memeriahkan HUT RI ke-62. Aku melihatnya bersama teman-teman sekerjanya. Ya, Amat sudah bekerja kalau ini disebut pekerjaan. Bekerja sebagai pemungut botol-botol plastik dan besi bekas. Pekerjaan yang dia lakoni semenjak ayahnya meninggal sewaktu Aceh masih berstatus Daerah "merah" Operasi Militer. Saat melihatku dia hanya melemparkan senyum dan kembali sibuk dengan teman-temannya. Rupanya dia dan teman-temannya menjadi salah satu kelompok yang ikut dalam lomba panjat pinang tersebut. Aku memutuskan melihat dari jauh saja.

“Kak, mau hadiah apa?” ujarnya sambil berjalan ke arahku. Tentu dengan rupa yang tidak karuan dengan baju dan wajah dipenuhi lemak hitam. Tadi aku lihat kelompok Amat berhasil menggambil hadiah yang disediakan diujung pohon pinang tersebut.

“Nggak usah, untuk kamu saja” jawabku sambil menyodorkan air mineral yang kubawa dari rumah. Dia menolaknya sambil tersenyum dan langsung mengeluarkan air mineralnya sendiri. Ah, selalu saja kuingat bagaimana caranya berhemat dan itu tertular juga padaku.

“Hek that lon kak, ngon lon hana nyang rayeuk. Mandum lage lon” Kadang Amat berbicara dalam bahasa Aceh juga denganku. Tapi tahu aku kurang bisa menjawab dalam bahasa Aceh, biasanya dia akan kembali menggunakan bahasa Indonesia. Aku mengerti apa yanga dikatakannya, namun untuk menjawab dalam bahasa yang sama lidahku belum terbiasa. Aku hanya senyum mendengar keluhannya,. Tentu saja pikirku, bagaimana bisa anak-anak seperti Amat dan kawan-kawannya memiliki badan yang besar. Makan saja seadanya. 4 sehat 5 sempurna? Wah, kalau ada kenduri anak yatim, walimah atau kenduri Isra’ Mi’raj saja barulah ada “perbaikan gizi” bagi Amat dan kawan-kawannya. Itu sedikit kisahku bersama Amat.

Bila ditanya tentang bagaimana puasa, maka lain halnya dengan Amat. Bagi Amat Ramadhan atau tidak Ramadhan sama saja. Sama-sama harus menahan lapar. Berpuasa diluar bulan Ramadhan adalah biasa. Bahkan tanpa pernah tahu kapan bisa berbuka. Karena berbuka bagi Amat dan keluarganya adalah saat ada makanan, bukan saat yang ditentukan waktunya seperti puasanya kita. Yaitu menahan lapar mulai saat imsak sampai maghrib tiba. Bahkan terkadang tanpa sahur sama sekali.

Kemarin Amat menegurku halus sekali. Di hari puasa pertama saat aku melihatnya sedang memikul keranjang bambu berisi botol-botol plastik. Dan dia masih bisa tersenyum. Sedang aku duduk dengan lemah dan wajah tanpa gairah. Ah, lapar sudah menjadi temannya walau dia tidak menyukainya. Sebagian orang telah memperkosa makna lapar selama ini. Lapar bagi mereka adalah diet, malas makan, atau tidak sempat makan. Sedang baginya lapar adalah lapar, tidak memiliki makanan untuk dimakan.

Amat sudah tidak bersekolah lagi. "dulu saya bersekolah kak, hanya sampai kelas enam SD, itupun dibiayai oleh nenek dari uang pensiun kakek yang bekerja sebagai petugas kelurahan". Sejak Amat menjadi yatim, mamaknya sangat kerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. jangankan untuk sekolah, untuk makan saja pas-pasan. Maka nenek Amatlah yang kemudian membiayai sekolah Amat. Tapi ternyata kesempatan tidak berpihak kepada si miskin. Saat akhir menamatkan sekolah dasarnya nenek amat meninggal dunia. Amatpun berhenti hanya sampai SD saja, tentu dengan bersusah payah menamatkannya. Melanjutkan sekolah ke SMP mustahil, selain tidak ada biaya, amat harus bekerja demi kelangsungan hidup mamak dan adik-adiknya.

Bagi Amat hidup diserahkan pada nasib dan peruntungan, tapi bukannya tanpa harapan dan usaha. Usaha yang sangat keras malah, orang bilang membanting tulang, dan dengan harapan yang sangat sederhana dan dekat-dekat saja: sekedar menyambung hidup. Itulah alam pikiran orang kecil. Bisa bernafas dari pagi ke pagi, dari petang ke petang.

Memang Amat miskin tapi bukannya berarti tidak berpunya. Dia masih memiliki tenaga yang laku terjual. Amat mencari botol-botol plastik bekas, serta apa saja yang bisa dijual. Bila beruntung Amat bisa membawa pulang duit yang bisa dibelanjakan oleh mamaknya dan ada sisa buat jajan kedua adiknya. Tapi bila lagi sepi hanya cukup buat makan saja.

Ramadhan tahun ini aku banyak belajar darimu tentang puasa dan lapar. Tentang perih dan pedihnya. Dan semua itu nyata, tidak dapat hilang hanya dengan kata-kata sabar.

Buat semuanya "Selamat Menikmati Puasanya... "

Sunday, August 12, 2007

salamatahari

Hik.. hiks..
Belakangan ini, blog tercinta kena sindrom reseh dan ribet total, padahal tulis menulis 'dah menjadi menu harian. Gimana ya..? Eh, baru inget bukannya aku juga ada account di WP. Hi..hi... padahal sebelum jadi pecinta blog, WP 'dah akrab duluan. Beginilah akhirnya. Kaki kanan di blog dan kaki kiri nongkrong di WP.
So, jangan kapok datang di Goresan Jiwa, dan jangan lupa mampir ke SALAMATAHARI

Sunday, August 5, 2007

Kembali Aku

Kembali aku memikirkanmu. Dan kini pikiran-pikiran akan dirimu, berkelebat bagaikan petir di gemuruhnya hujan pagi ini. Menyapamu dan kembali kau palingkan wajahmu

Keterasingan adalah aku dan kau selalu berada dalam gemuruh serta gegap gempita suara yang memujamu. Bila kita dipersatukan maka itu adalah hanya ilusi yang coba kubangun, kucoba merasakan tanpa tahu artinya. Terkadang cahaya bulan sudah membuat aku merasa itulah cahaya keabadian, sampai nanti datangnya sang fajar dengan matahari membawa cahaya yang lebih terang. Lalu aku terhenyak di ketiadaan. Coba bertahan, malah membuat aku semakin bimbang.

Obrolan-obrolan kita menjadi hambar dan tak memiliki cita rasa lagi sejak aku mulai kembali dengan keegoisanku dalam mengartikanmu. Sehingga kau mengatakan kepadaku bahwa kau tak lagi bisa memahami bahasa-bahasaku. Walau menurutku kau salah saat mengatakan itu. Akulah yang tidak memahami bahasamu. Tuhkan, aku kembali menjadi si egois yang memaksamu dan menafsirkanmu sesuai seleraku.

Kau katakan aku si benar dan salah adalah bagian utuh dari dirimu. Aku hanya terdiam. Karena aku telah menafsirkanmu dengan segala keegoisanku, tanpa belajar untuk melihatmu secara utuh.

Aku ingin bertanya padamu saat ini. Apakah bisakah kita kembali berjalan dilorong sempit itu dikost-an yang kumuh sambil bergandengan tangan, atau menyanyi penuh semangat bersama pengamen itu, atau sekedar jalan sejajar dengan ibu separuh baya itu, atau bahkan melewati jalan pegunungan Lawu dalam kesunyian yang magis? Tapi bibirku seakan kaku dihadapanmu.

Kembali aku tidak bisa memaknaimu. Usaha apalagi yang kurang agar kebersamaan kita tetap utuh? Sergahmu suatu kali dimalam saat bintangpun enggan menemaniku. Tanpa kusadari, aku mulai mengganti baju-baju yang dahulu satu persatu kau lepaskan dari diriku dengan kain-kain yang kini membalutku lebih erat kepada kebodohan.

Lambat laun keterasingan itu mejadi akrab denganku. Karena keterasingan itu adalah aku. Gemuruh angin membawaku bersamamu. Kini angin itu pula yang telah menghentikan langkahku mengikuti jejakmu. Hujan itu selalu datang bersamamu, sama seperti datangnya pelangi sesudahnya.

Memanggilmu, membacamu, berbincang, bercinta atau sekedar menyapamu seperti tugas rutin bagiku. Dengan segala keterbatasan ruang dan waktu. Ah, kau masih saja begitu. Selalu mengambil tempat disudut kamarku dan memandangiku yang rindu padamu.

Namun kini aku begitu malu padamu. Sehingga tanganku tak berani menarikmu lebih dekat lagi padaku. Mungkin nanti saat aku telah mampu melepaskan kain-kain yang telah memasungku, aku akan kembali menemui lagi. Atau boleh aku berharap lagi padamu agar membantuku melepaskan semua itu lagi? Walau kutahu kau akan menjumpaiku dengan rasa yang sudah berbeda. Tapi kau tahu bahwa aku masih sama terhadapmu. Masih merindukan perjumpaan dan segalanya bersamamu.

Kulihat hujan yang membawa petir itu telah mereda. Meninggalkan sisa-sisa patahan ranting pohon dan kubangan air dijalanan. Walau rintik air masih membasahi diriku tetap kuberjalan mencarimu dalam kegalauan menanyakan pada diriku akankah aku menemukanmu. Kembali ingin aku menatap pelangi itu bersamamu.

Saturday, August 4, 2007

Perjumpaanku

dia adalah sesuatu yang tak terdefiniskan

Untuk mencarimu, bersama angin aku pergi ketimur. Sambil diam-diam kukejar terbitnya matahari. Sementara waktu dan aku beringsut menjemputmu, debar-debar aneh menggila dan melesak pada dalamnya dan pelan menyentuh dasar telagamu.

Aku tetap beranjak ketimur. Semakin ketimur semakin beragam kutemui wajahmu. Ya benar, aku menemukan wajahmu dalam pepohonan yang kamu, gerbong kereta yang kamu, pengamen yang kamu, ibu setengah baya yang kamu, semuanya adalah kamu. Dunia dan segala isinya tidak ada yang lain kecuali kamu. Inikah yang dikatakan kau maujud dalam segalanya. Kaulah segalanya Ta.

Ta, begitu aku selalu memanggilmu. Ta yang berati Cinta. Karena kupikir hanya itu yang kutahu tentangmu. Kaulah Cinta segala dan dengan segala Cinta

Kau ingat waktu itu Ta? Ketika dalam gigil ngeri kubisikan takbir untukmu, waktu itu seluruh semesta menyahut dengan rasa yang sama. Ribuan, ratusan bahkan jutaan takbir diserukan dengan cara dan bahasanya masing-masing. Mereka memujamu Ta. Ya, hanya memujamu. Burung yang pulang kesarang, air yang mengalir, gemulai ombak, banjir bahkan sampai gempa adalah takbir untukmu Ta. "Peganglah dadaku sayang, rasakan deburnya" bisikmu terbawa angin.

Kusambut tanganmu dan kupegang, kusentuhkan lekat di hati.

Ah, waktu berhenti seketika itu, dan betapa dahsyat rasanya aku tenggelam di dalammu. Kau hanya memandangku lekat. Dan diam. Jalanan lenyap dengan riuhnya. Pohon, bunga, patung, ribuan gedung dan nyala api termangu lalu kembali berebut bertasbih untukmu.

Aku mungkin mendahuluimu ditanah lapang itu, tetapi selebihnya kaupun mengerti. Kaulah mata air itu. Walau bila jujur, sebenarnya aku dibingungkan oleh antara mencintaimu, mencintai apa yang dicintaimu, mencintaimu dan kepadamu atau cinta bersamamu? Entahlah, cintaku adalah seluruh diri yang kuserahkan untukmu hingga tak ada lagi bisa disisakan.

Siapa yang kau cintai? Ah, kenapa kau ajukan pertanyaan itu lagi Ta? Tentu kau Ta, dan hanya kau. Bukan saja pertanyaan itu tidak adil. Tetapi apakah kau lupa atau sekedar menegaskan keraguanku? Mungkin aku tak memahami al-Hallaj ketika dia mengatakan kau ada dalam jubahnya. Tetapi aku yakin mereka berkata benar tentangmu.

Ketika aku memandangmu dari disudut ini. Semua nyala api dan panasnya bertekuk dilututmu dalam cinta. Bersama pijar matahari, kau menyelaku dengan pertanyaan-pertanyaan itu. "Kemana perginya matahari kala senja, atau sebenarnya dia tak ternah pergi?" Aku terhenyak, ya karena selalu dengan pertanyaan itulah kau mengusikku. Ta, bukankah kau tahu caraku mencintaimu adalah dengan cinta itu sendiri.

Ta, kau memang tak pernah memintaku. Tetapi ijinkan aku selalu bersujud dengan cinta di bawah tahtamu. Hanya itu Ta bahasa yang kutahu untuk memahamimu. Pagi, siang dan malam aku hanya ingin menjemputmu kemudian melelehkan diriku dalammu. Menghirupkannya di nafas dan menciumnya lekat semampu yang kubisa. Ah, selalu kau telah menunggu, sambil menghitung satu persatu keringat yang menetes dari keningku, ah dan kau selalu mengusapnya untukku. Ada saatnya aku ingin menjadikanmu patung dan kugenggam erat sambil meletakkannya disudut ruang itu.

Ta, aku mencintaimu dalam perjumpaan pertama itu.

(Sebenarnya ribuan waktu telah aku siapkan untuk saat ini, ciuman di kening, lilin, Jogja sampai Lawu. Selain itu, tak lupa kukemaskan sebait takbir dan sepotong lagu Internasionale)

Friday, July 27, 2007

Apakah Kau Letih

Aku mengenangnya sebagai seorang yang karib dan menyimpannya di dada. Dekat sekali dengan hati untuk di cintai. Menyematkannya pada secarik kertas, dan menulisinya dengan kata-kata penuh sayap di kedua punggungnya. Indah? Mungkin. Tetapi itu tak terlalu penting setelah sering malam-malam dihabiskan bersama untuk membaca. Membaca bintang, garis tangan atau tanda tahi lalat didada. Ya, kita baca segalanya sampai semua aksara dan kata kehilangan maknanya.

Suatu kali aku berkata padamu, "Sekarang aku sedang mencari jawaban kenapa aku mati tetapi aku hidup atau kenapa aku hidup tetapi aku mati." Atau kali-lainya, "Aku berpikir jahat ya? Ah, nggak lah, kupikir semua alami dan setia pada proses kok." Begitu aku menjawab pertanyaan yang ku ajukan sendiri.Kau tersenyum, tentu saja!! Dan aku tahu kau tertawa diam-diam ketika aku memalingkan wajahku menghadap kelangit. Seolah mencari jawaban disana.

Aku adalah penanya yang menyebalkan mungkin bagimu. Padahal kau sudah membawa-bawa nama paman Descrates untuk membuat aku berhenti bertanya sebentar saja, dengan sabar kau katakan "Kadang Descrates itu nggak selalu benar kok, cogito ergo sum...aku berfikir maka aku ada." Sampai suatu hari kau menyarankan aku agar diam sejenak dan membiarkan alam yang menentukan dan menemukan rumus-rumusnya. Dan sudah sifatku untuk ngotot dengan kemauan ku. Sampai hilanglah kesabaranmu, waktu itu aku mengatakan bahwa fitrah manusia itu ingin tahu. Dan kau ingat apa jawabanmu waktu itu? Kau lupa? Sini ku copy paste kan untuk mu (A_o : Ya...tapi banyak bertanya juga nyebelin lagi...). Wkakakaka... akhirnya sang nabi berubah menjadi umat. hihihi...oups sorry.

Sebetulnya dari awal kau bersepakat denganku. Membacanya adalah tafsir, dan mencintainya adalah hak. Sepakat untuk itu. Tetapi selebihnya kau menolak. Ya, kau menolak percintaanku yang sangat personal itu. Betul, cintaku adalah hak sekaligus kewajiban. Tetapi seperti selalu kaukatakan padaku, dia tetaplah ide, ya ide.

Yups, karena dia hanya ide maka dia tak punya tangan dan kaki yang menginjak di bumi. Padahal menginjak di bumi penting dan membuat sentuhannya riil serta konkrit. Dia masih peminjam mulut, peminjam tangan, meminjam kaki kita serta menggunakan otak serta nalar kita untuk menciptakan dunianya. "Sebenarnya, dia yang menciptakan kita atau justru kitalah yang menciptakan dia"

Sampai sini tentu saja aku bungkam. Bukan karena aku tak punya jawaban. Bungkamku karena, dia disini berkuping tipis serta berusus pendek. Begitu dia, begitu juga umatnya. Dia ditempatku jejaknya bisa dirunut pada orang-orang berjenggot dan bersorban yang merazia diskotik, meledakkan diri dengan ransel penuh bom atau menyesali ditolaknya Piagam Jakarta. Itu satu sisi. Sisi yang berseberangan juga tak kalah ekstrimnya. Mereka membajukan dia dalam kacamata-kacamata kekinian. Semuanya menjadi boleh.

"Kalau kamu?" Ah, nggak tahu. Aku hanya merasa, agamaku berbuat baik saja. Aku bukanlah pengikut Seikh Siti Jenar atau Sunan Kalijaga. Tetapi satu hal aku juga tak sepakat Arabisasi di tanah ini. Kenapa begitu, karena kupikir dia itu tumbuh kok. Tumbuh bersama manusia, menemani makan, menemani tidur, menemani kerja, menemani bercinta, atau kadang menemani kita ketika ngobrol. Yups, karena dia tumbuh dia mengerti kita. Sangat mengerti segala macam problem manusia. Selain itu dia sangat jauh dari sifat egois dan narsis, yang mengkoleksi nama-nama baiknya sendirian.

Ao, dia ku mungkin beda dengan dia mu. Tetapi selain itu kita punya banyak persamaan. Setidaknya kita sepakat bahwa jalan terbaik adalah jalan yang ditawarkan kawan dari Hijaz itu. "Rahmatan Lil Alamin?" Sip, itulah intinya Ao. Dia bukan pendendam yang suka main balas dengan ancaman neraka. Diaku juga bukan tukang sogok yang kemana-mana menenteng kapling surga dan dijajakan ketengan. Bukan. Sekali-kali diaku bukan seperti itu. Diaku adalah dia yang menenangkan tangis seorang anak kecil yang lapar. Diaku juga dia yang karib, yang sukarela blusak-blusuk di gang sempit dan becek sambil menebar senyum yang menguatkan. Dia ku juga dia yang merengkuh bahu, mengecup kening dan membibing si buta menyeberang.
Ya...
Diaku adalah dia.

Thursday, July 12, 2007

Nostalgia dibalik awan

Kumpulan awan terus berada bersamaku. Awan-awan itu sudah menutupi wajahmu dariku. Kutahu engkau ada dibalik itu, menungguku mungkin. Membayangkanmu, membuat aku hanya bisa tersenyum atau menangis pilu. Ingatanku kembali pada pertemuan-pertemuan kita dahulu. Ada tawaku, senyummu, air mataku juga belaian lembutmu dikepalaku.

Angin kencang itu meniupkan awan yang menutupi pandanganku padamu. Tapi itu hanya sesaat, karena awan baru dengan warna lebih kelabu sudah menunggu untuk kembali menutupi wajahmu. Aku hanya bisa terdiam. Berharap hujan akan turun, lalu muncullah wajahmu bersama matahari.

Kuingat renyah suaramu saat obrolan kita. Walau terkadang aku tak percaya bahwa kau ada disisiku duduk menemaniku. Kupikir aku mulai gila denganmu. Ah, bukankah aku memang gila? aku menggilaimu saat aku mulai mengenalmu.

Ta...itu panggilanku untukmu. Namun belakangan ini aku lebih suka memanggilmu dengan sebuatan Rob, kedengarannya cukup akrab. Walau kadang aku menghujatmu dan berteriak memanggil "hei" atau "kau", itu karena aku merasa begitu akrab dengamu. Menyebut namamu dengan versiku suatu hal yang sangat karib bagiku. Tak ada batas rasanya, hanya kau dan aku.

Rob, apakah kau sibuk? Masihkah kau mau menemaniku malam ini? Aku rindu Rob? Aku juga binggung. Kau tahukan? Biasalah, aku selalu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kau dan segala ciptaanmu. Tentang keadilan, kebenaran, nasib, takdir, bahkan keberadaanmu sekalipun. Aku masih sama Rob, masih suka bertanya. Dan kau masih saja diam, atau aku yang kurang bisa mengartikan dirimu? Aku tak tahu. Tapi aku ingin kau terus menemaniku. Bersama awan itu, juga matahari, angin dan hujan.

Kau ingat Juni? Juni begitu membekas untukku. Iya aku tahu, kau sudah tahu. Tapi Rob, Juni telah menjadi hantu untukku. Aku tidak bisa mengendalikan diriku lagi. Kau juga tahu, aku masih sibuk dengan awan-awan itu. Awan-awan itu mulai banyak menyita waktuku. Dari ujian akhir semester, kisah cinta, keinginan pindah kerja, belum lagi tugas dirumah yang juga meminta waktuku.

Tak bisakau berubah menjadi kabut? Agar bersama awan itu aku bisa melihatmu. Jangan marah Rob, bukan aku ingin menurunkan derajatmu. Aku hanya ingin selalu dekat denganmu, setiap saat bisa memandangmu saat kau berada diantara awan-awan itu. Mendengar suara renyahmu. Apakah sulit bagimu?

Rob, kau ingat wanita dicafe itu? Iya, yang datang dengan mengendong anak balitanya. Iya, yang berjalan pincang. Kau ingat juga Heru dan Chandra? Tuhkan, kau tersenyum. Masih ingat rupanya dengan para pengamen itu dan semangatnya. Ya, kau juga ingat bagaimana semangatnya aku untuk ikut bersama mereka. Tapi sayang, telpku tak terjawab pagi itu hingga sesuai kesepakatan aku dan chandra untuk berjumpa di blok-M, sebagai start awal kami ngamen batal. Lalu ingat Cemoro Kandang? Hi...aku bisa melihat wajahmu dengan jelas dibalik dinginnya Lawu saat itu. Sedikit siy, tapi cukuplah buat modal mengenalmu kelak.

Ah, semua itu membuat aku binggung. Hi, selalu kata bingung aku tuliskan dengan double "g", karena aku memang benar-benar bingung Rob. Apa arti semua ini? Ah, ada yang bisa membantuku?

Friday, July 6, 2007

MelihatMu

Malam itu aku melihatmu disebuah cafe dengan menggendong seorang balita. Letih jelas nampak di wajah tuamu. Dengan berjalan agak pincang kau mendatangi satu persatu meja para penggunjung cafe itu. Ada yang memberikan lembaran seribuan ada juga memberikan koin kuning lima ratusan bahkan ada juga yang hanya memberikan senyum sambil berkata "maaf ya bu".

Dimeja itu aku melihat seseorang tersenyum dan berangguk saat kau mengunjunginya. Sepertinya mengatakan "maaf ya bu". Lalu kau menunjuk kepada makanannya yang terlihat lezat dimatamu dan anak dalam gendonganmu. Jari telunjukmu menunjuk makanan sipenggunjung dan kemudian beralih menunjuk anakmu. Seolah sipenggunjung mengerti dan menggambil makanan yang kau tunjuk lalu memberikan separohnya kepadamu. Dengan ringkas kau tolak dan kembali mengacungkan jari telunjukmu berulang-ulang. Si penggunjung kembali mengerti, bahwa kau hanya membutuhkan satu untuk anakmu.

Kulihat sirat aneh dimata penggunjung itu setelah kejadian itu. Seolah matanya tak lepas terus membututimu hingga hilang dari pandangannya, karena kembali kau memasuki cafe yang berada di sebelahnya.

Aku melihat pantulan cahaya dari pipi penggunjung itu, sepertinya dia menangis. Tapi apa yang dia tangisi?

Kini aku melihatmu dimata penggunjung itu.