Wednesday, December 5, 2007

Bu Sarmi

“Adauwww…hiks…”

“Pelan-pelan bu, sakit banget soalnya”

Sambil menahan nafas dan mencoba tidak berisik, aku coba menikmati setiap pijatan Bu Sarmi di bagian betis dan seluruh tubuhku. Ibu Sarmi itu tukang cuci di kosan adik sepupuku merangkap tukang pijit anak-anak kosan di jalan Menukan gang Kepiting Jogya ini. Pokoknya wanita satu ini serba bisalah, alias bisa di suruh apa aja.

“Saya di suruh apa saja mau kok dik, lumayanlah buat nambah-nambah uang belanja” begitu pengakuannya.

“Dibagian kaki keras semua dik, abis dari mana?” Aku cuma bisa nyengir kuda dan langsung saja adik sepupuku nyerocos tanpa diminta “sok siy, nggak pernah jalan jauh malah naik gunung”ujuarnya cemberut sambil keluar kamar.

Aku cuma tersenyum saja. Dia tidak tahu kalau setelah itu aku dan pemanduku yang norak melanjutkan jalan lagi ke Grojogan Sewu di Tawang Mangu. Dan sebelnya pemanduku itu sok tahunya selangit. Dengar saja apa katanya saat perjalanan kesana. “Air terjun di Jawa itu cantik-cantik, gak seperti di Aceh.” “Emang seperti apa siy Grojogan Sewu itu?”tanyaku tidak mau kalah. “Ya yang pasti sewu” ucapnya asbun. Sial pikirku si jelek ini soknya kebangetan dan aku cuma diam saja mendengar jawabannya itu. Lebih baik diam kupikir karena aku tidak menguasai medan. Sambil merengut akupun terus berjalan mengikutinya. Saat membayar retribusi memasuki kawasan Grojogan Sewu aku mulai curiga, kok air terjunnya tidak kelihatan dan pemanduku itu juga terlihat bingung. “Kamu tahu gak siy Grojogan Sewu itu dimana?” dia hanya nyengir dan aku sudah tahu artinya. Kalau tadi itu cuma sok-sok-an dia aja. Dan duh, bikin gondok. Masalahnya kaki masih sakit di bawa turun Lawu, dan untuk menemukan air terjun itu, harus menuruni anak tangga yang sewu juga kali jumlahnya. Dan…

“Anjriiiiiiiiitttttttt….”

“Oh ini yang sewu ya?” ujarku dengan mata membelalak, alis terangkat dan sambil bibir di stel sedemikian rupa.

Ternyata hanya air terjun biasa, bukan maksudku merendahkan tapi ini semua gara-gara pemandu norak itu. Sok tahunya itu. Dan dia cuma tersenyum malu saja sepanjang jalan. Dia mungkin berharap sewu yang mendampingi kata grojogan itu mewakili kenyataannya. Tapi aku gak tahu kenapa tempat yang cukup asri dan cantik itu dinamakan dengan grojogan sewu. Karena air terjunnya hanya satu yang jatuh cantik ke bumi itu. Dan selebihnya hanya air yang mengalir begitu saja dipinggir bukit. Mungkin banyaknya anak tangga di sana yang sewu, aku nggak tahu. Yang pasti kata-kata sewu itu sudah menipuku dan pemandu norak itu. Dan aku harus berjuang keras untuk kembali menapaki satu persatu anak tangga sewu untuk naik keatas lagi. Hiks…

Kembali ke Bu Sarmi. Bu Sarmi ini cukup ramah seperti kebanyakan orang jawa lainnya, dan terbuka bila di tanya apapun. Bahkan tanpa ditanyapun dia akan bercerita panjang lebar. Mungkin untuk sedikit mengurangi beban dalam hidupnya. Dengan suami dan dua orang anak laki-laki yang semuanya tidak bekerja alias pengangguran serta seorang putri yang katanya sudah menikah untung bukan dengan lelaki jawa yang Jogya. Maka beban bu Sarmi bertambah-tambah dengan keadaan itu. Semenjak menikah sampai sekarang bercucu dua, Bu Sarmi-lah yang menafkahi keluarganya. Jenuh, ingin berontak tapi lagi-lagi kewanitaan jawanya membuat dia mengurungkan niat itu.

“Mau cerai sudah ada anak, malu sama orang-orang” ujarnya sambil terus memijat bagian kakiku. “Dasar, orang jogya itu lelakinya pemalas-pemalas dik” dan itu dia katakan sambil memijat keras bagian betisku yang sakitnya minta ampun dan aku cuma diam. Bukan diam tepatnya tapi menahan jeritan dengan menggigit bantal yang menopang kepalaku dengan tubuh terlungkup. Hi, dia mijit kok dendam begitu siy? Jadi geli bercampur sakit.

Lalu pijitannya mulai melemah dan sebaris kalimat pasrah keluar dari mulutnya yang sangat kuingat betul “Saya serahkan semua sama Allah saja dik, biar dia yang membalasnya”. Ya beginilah pikiran orang-orang seperti Bu Sarmi sangat sederhana dan begitu nerimo. Dan entah kenapa, lagi-lagi si Mbah itu bisa menenangkan segala gemuruh, rasa sakit, pahitnya kehidupan ini.

Sosok wanita jawa yang sering aku lihat semua terwujud pada Bu Sarmi. Wanita Jawa, ya wanita Jawa.

“Udah enakkan dik?” tanyanya sambil terus memijit.

“Udah bu”

“Nanti dioles parem aja biar lebih enakan” ujarnya

Dan itulah saat pertama dan terakhir aku bertemu dengannya. Karena setelah itu aku kembali melanjutkan perjalanan menuju Jakarta sambil menumpang KA Progo.

Saturday, September 22, 2007

Satu menjadi Dua or Dua menjadi Satu

Setiap pertemuan merujuk akan adanya perpisahan. Sama akan halnya setiap kehidupan merujuk akan adanya kematian. Selalu ada dua sisi yang saling bertolak belakang namun selalu berdampingan.

Aku dan dia mungkin saling bertolak belakang, namun tetap berdampingan. Setidaknya terus berusaha untuk berdampingan. Dia pernah mengatakan kami bagai satu di bagi menjadi dua atau dua digabungkan menjadi satu. Tak tahu yang mana yang benar namun rasa itu terasa kuat. Rasa kuat untuk saling mengisi, berbagi dan memahami, menjadikan dua itu satu atau satu itu menjadi dua.

Ta, dalam hening malam ini ditemani suara puja-puji itu aku ingin bertanya padamu, bertanya hal yang sering aku ulang hanya untuk memenuhi rasa sesak didada ini. Pertanyaan sama "Masih adakah waktuku dengan nya?". Kau masih dengan senyummu. ah, masa aku bertanya untuk hal remeh begitu denganmu. Sedang urusanmu begitu banyak. Seperti biasa semua kembali kau serahkan kepadaku untuk menjawabnya. Menjawab pertanyaan yang seharusnya memang aku yang menjawabnya. Menjawab bukan dengan just a word, tapi tindakan nyata.

Jejaknya tak mungkin terhapus. Aku malah bisa mengurutkan jejaknya awal sampai akhir. Berawal dari tempatku berdiri lalu terbang keangkasa bersama burung besi raksasa, melewati jalan besi tak ujung, menaiki kotak bermesin, dan berjalan sampai penggik di lawu sana. hihihi...kau ingat semua itukan?

Mencoba untuk berseberangan sudah kita lakukan, apa lagi untuk tidak saling berseberangan. Namun bensin itu hanya menunggu percikan api dan terbakarlah. Lelah? Mungkin itu sudah sering terdengar. Bahkan Ta pun sering kecewa mendengarnya. Melihat sedih ke arah kita, namun kembali dengan senyuman pemberi semangatnya. Ya, semangat sama-sama untuk beritikad baik. bahwa kita adalah Satu menjadi Dua or ...

Sepaket puja-puji dan sepotong doa kusorong dihadapanmu. Berharap pertemuan nanti aku dalam keadaan tidak melow seperti ini lagi...C U Ta, Wasalam...


Saturday, September 15, 2007

Lapar dan Puasa

Puasa tahun ini berasa biasa-biasa saja. Tidak ada yang berubah. Kecuali dirumahku berkurang lagi seorang anggota keluargaku. Adikku tersayang kini sedang menuntut ilmu di kota hujan di pulau Jawa sana. Dan jadwal perkuliahan membuat dia tidak bisa berkumpul bersama kami di Ramadhan tahun ini.

Kota Banda Aceh juga terlihat biasa-biasa saja. Masih seperti tahun-tahun kemarin dalam menyambut puasa. Ritual jalan subuh masih tetap ada. Berjalan-jalan sambil menunggu waktu berbuka juga masih ada. Yang asyiknya kalau jalan-jalan sore itu, sepanjang jalan ada saja yang berjualan makanan buat berbuka. Meriahlah. Dan ritual tarawih dan tadarusan juga masih ada.

Tapi yang apa yang berbeda ya? Rasanya tidak ada yang berbeda. Itu bila Ramadhan tahun lalu di bandingkan dengan Ramadhan tahun ini. Apa lagi bagi si amat. Eh, aku belum cerita ya tentang si amat?

Amat, begitu teman-temannya memanggilnya. Nama Amat di daerahku adalah lumrah. Dan biasanya Amat adalah panggilan untuk anak laki-laki di desa. Amat punya nama asli Muhammad Iqbal dan biasa dipanggil oleh mamaknya Amat. Entah kenapa orang tuanya menamanya Muhammad Iqbal, apa karena orang tuanya sangat mengidolakan Muhammad Iqbal yang seorang sastrawan dan pemikir islam asal Pakistan itu. Tapi sepertinya tidak, karena saat kutanya pada mamak Amat tentang Muhammad Iqbal yang satrawan itu dia tidak mengenalinya. "So nyan? hana turi lon" begitu jawabnya suatu hari padaku, tentu dengan bahasa Aceh yang kental yang kalau diartikan dalam bahasa indonesia kira-kira seperti ini "siapa tuh, nggak kenal saya".

Orang di daerahku banyak menggunakan nama Muhammad untuk anak lak-laki. Lalu di akhir namanya di berikan nama yang berbeda saja. Seperti abang dan adik laki-lakiku pun sama. Nama awalan mereka Muhammad. Tentunya orang tua-orang tua yang memberi nama Muhammad itu ingin anak-anaknya memiliki sifat seperti Nabi Muhammad.

Pertemuanku dengan Amat disuatu siang adalah ketidak sengajaan. Saat itu aku yang sengaja datang kelapangan kota untuk melihat perlombaan panjat pinang yang diselenggaran dalam rangka memeriahkan HUT RI ke-62. Aku melihatnya bersama teman-teman sekerjanya. Ya, Amat sudah bekerja kalau ini disebut pekerjaan. Bekerja sebagai pemungut botol-botol plastik dan besi bekas. Pekerjaan yang dia lakoni semenjak ayahnya meninggal sewaktu Aceh masih berstatus Daerah "merah" Operasi Militer. Saat melihatku dia hanya melemparkan senyum dan kembali sibuk dengan teman-temannya. Rupanya dia dan teman-temannya menjadi salah satu kelompok yang ikut dalam lomba panjat pinang tersebut. Aku memutuskan melihat dari jauh saja.

“Kak, mau hadiah apa?” ujarnya sambil berjalan ke arahku. Tentu dengan rupa yang tidak karuan dengan baju dan wajah dipenuhi lemak hitam. Tadi aku lihat kelompok Amat berhasil menggambil hadiah yang disediakan diujung pohon pinang tersebut.

“Nggak usah, untuk kamu saja” jawabku sambil menyodorkan air mineral yang kubawa dari rumah. Dia menolaknya sambil tersenyum dan langsung mengeluarkan air mineralnya sendiri. Ah, selalu saja kuingat bagaimana caranya berhemat dan itu tertular juga padaku.

“Hek that lon kak, ngon lon hana nyang rayeuk. Mandum lage lon” Kadang Amat berbicara dalam bahasa Aceh juga denganku. Tapi tahu aku kurang bisa menjawab dalam bahasa Aceh, biasanya dia akan kembali menggunakan bahasa Indonesia. Aku mengerti apa yanga dikatakannya, namun untuk menjawab dalam bahasa yang sama lidahku belum terbiasa. Aku hanya senyum mendengar keluhannya,. Tentu saja pikirku, bagaimana bisa anak-anak seperti Amat dan kawan-kawannya memiliki badan yang besar. Makan saja seadanya. 4 sehat 5 sempurna? Wah, kalau ada kenduri anak yatim, walimah atau kenduri Isra’ Mi’raj saja barulah ada “perbaikan gizi” bagi Amat dan kawan-kawannya. Itu sedikit kisahku bersama Amat.

Bila ditanya tentang bagaimana puasa, maka lain halnya dengan Amat. Bagi Amat Ramadhan atau tidak Ramadhan sama saja. Sama-sama harus menahan lapar. Berpuasa diluar bulan Ramadhan adalah biasa. Bahkan tanpa pernah tahu kapan bisa berbuka. Karena berbuka bagi Amat dan keluarganya adalah saat ada makanan, bukan saat yang ditentukan waktunya seperti puasanya kita. Yaitu menahan lapar mulai saat imsak sampai maghrib tiba. Bahkan terkadang tanpa sahur sama sekali.

Kemarin Amat menegurku halus sekali. Di hari puasa pertama saat aku melihatnya sedang memikul keranjang bambu berisi botol-botol plastik. Dan dia masih bisa tersenyum. Sedang aku duduk dengan lemah dan wajah tanpa gairah. Ah, lapar sudah menjadi temannya walau dia tidak menyukainya. Sebagian orang telah memperkosa makna lapar selama ini. Lapar bagi mereka adalah diet, malas makan, atau tidak sempat makan. Sedang baginya lapar adalah lapar, tidak memiliki makanan untuk dimakan.

Amat sudah tidak bersekolah lagi. "dulu saya bersekolah kak, hanya sampai kelas enam SD, itupun dibiayai oleh nenek dari uang pensiun kakek yang bekerja sebagai petugas kelurahan". Sejak Amat menjadi yatim, mamaknya sangat kerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. jangankan untuk sekolah, untuk makan saja pas-pasan. Maka nenek Amatlah yang kemudian membiayai sekolah Amat. Tapi ternyata kesempatan tidak berpihak kepada si miskin. Saat akhir menamatkan sekolah dasarnya nenek amat meninggal dunia. Amatpun berhenti hanya sampai SD saja, tentu dengan bersusah payah menamatkannya. Melanjutkan sekolah ke SMP mustahil, selain tidak ada biaya, amat harus bekerja demi kelangsungan hidup mamak dan adik-adiknya.

Bagi Amat hidup diserahkan pada nasib dan peruntungan, tapi bukannya tanpa harapan dan usaha. Usaha yang sangat keras malah, orang bilang membanting tulang, dan dengan harapan yang sangat sederhana dan dekat-dekat saja: sekedar menyambung hidup. Itulah alam pikiran orang kecil. Bisa bernafas dari pagi ke pagi, dari petang ke petang.

Memang Amat miskin tapi bukannya berarti tidak berpunya. Dia masih memiliki tenaga yang laku terjual. Amat mencari botol-botol plastik bekas, serta apa saja yang bisa dijual. Bila beruntung Amat bisa membawa pulang duit yang bisa dibelanjakan oleh mamaknya dan ada sisa buat jajan kedua adiknya. Tapi bila lagi sepi hanya cukup buat makan saja.

Ramadhan tahun ini aku banyak belajar darimu tentang puasa dan lapar. Tentang perih dan pedihnya. Dan semua itu nyata, tidak dapat hilang hanya dengan kata-kata sabar.

Buat semuanya "Selamat Menikmati Puasanya... "

Sunday, August 12, 2007

salamatahari

Hik.. hiks..
Belakangan ini, blog tercinta kena sindrom reseh dan ribet total, padahal tulis menulis 'dah menjadi menu harian. Gimana ya..? Eh, baru inget bukannya aku juga ada account di WP. Hi..hi... padahal sebelum jadi pecinta blog, WP 'dah akrab duluan. Beginilah akhirnya. Kaki kanan di blog dan kaki kiri nongkrong di WP.
So, jangan kapok datang di Goresan Jiwa, dan jangan lupa mampir ke SALAMATAHARI

Sunday, August 5, 2007

Kembali Aku

Kembali aku memikirkanmu. Dan kini pikiran-pikiran akan dirimu, berkelebat bagaikan petir di gemuruhnya hujan pagi ini. Menyapamu dan kembali kau palingkan wajahmu

Keterasingan adalah aku dan kau selalu berada dalam gemuruh serta gegap gempita suara yang memujamu. Bila kita dipersatukan maka itu adalah hanya ilusi yang coba kubangun, kucoba merasakan tanpa tahu artinya. Terkadang cahaya bulan sudah membuat aku merasa itulah cahaya keabadian, sampai nanti datangnya sang fajar dengan matahari membawa cahaya yang lebih terang. Lalu aku terhenyak di ketiadaan. Coba bertahan, malah membuat aku semakin bimbang.

Obrolan-obrolan kita menjadi hambar dan tak memiliki cita rasa lagi sejak aku mulai kembali dengan keegoisanku dalam mengartikanmu. Sehingga kau mengatakan kepadaku bahwa kau tak lagi bisa memahami bahasa-bahasaku. Walau menurutku kau salah saat mengatakan itu. Akulah yang tidak memahami bahasamu. Tuhkan, aku kembali menjadi si egois yang memaksamu dan menafsirkanmu sesuai seleraku.

Kau katakan aku si benar dan salah adalah bagian utuh dari dirimu. Aku hanya terdiam. Karena aku telah menafsirkanmu dengan segala keegoisanku, tanpa belajar untuk melihatmu secara utuh.

Aku ingin bertanya padamu saat ini. Apakah bisakah kita kembali berjalan dilorong sempit itu dikost-an yang kumuh sambil bergandengan tangan, atau menyanyi penuh semangat bersama pengamen itu, atau sekedar jalan sejajar dengan ibu separuh baya itu, atau bahkan melewati jalan pegunungan Lawu dalam kesunyian yang magis? Tapi bibirku seakan kaku dihadapanmu.

Kembali aku tidak bisa memaknaimu. Usaha apalagi yang kurang agar kebersamaan kita tetap utuh? Sergahmu suatu kali dimalam saat bintangpun enggan menemaniku. Tanpa kusadari, aku mulai mengganti baju-baju yang dahulu satu persatu kau lepaskan dari diriku dengan kain-kain yang kini membalutku lebih erat kepada kebodohan.

Lambat laun keterasingan itu mejadi akrab denganku. Karena keterasingan itu adalah aku. Gemuruh angin membawaku bersamamu. Kini angin itu pula yang telah menghentikan langkahku mengikuti jejakmu. Hujan itu selalu datang bersamamu, sama seperti datangnya pelangi sesudahnya.

Memanggilmu, membacamu, berbincang, bercinta atau sekedar menyapamu seperti tugas rutin bagiku. Dengan segala keterbatasan ruang dan waktu. Ah, kau masih saja begitu. Selalu mengambil tempat disudut kamarku dan memandangiku yang rindu padamu.

Namun kini aku begitu malu padamu. Sehingga tanganku tak berani menarikmu lebih dekat lagi padaku. Mungkin nanti saat aku telah mampu melepaskan kain-kain yang telah memasungku, aku akan kembali menemui lagi. Atau boleh aku berharap lagi padamu agar membantuku melepaskan semua itu lagi? Walau kutahu kau akan menjumpaiku dengan rasa yang sudah berbeda. Tapi kau tahu bahwa aku masih sama terhadapmu. Masih merindukan perjumpaan dan segalanya bersamamu.

Kulihat hujan yang membawa petir itu telah mereda. Meninggalkan sisa-sisa patahan ranting pohon dan kubangan air dijalanan. Walau rintik air masih membasahi diriku tetap kuberjalan mencarimu dalam kegalauan menanyakan pada diriku akankah aku menemukanmu. Kembali ingin aku menatap pelangi itu bersamamu.

Saturday, August 4, 2007

Perjumpaanku

dia adalah sesuatu yang tak terdefiniskan

Untuk mencarimu, bersama angin aku pergi ketimur. Sambil diam-diam kukejar terbitnya matahari. Sementara waktu dan aku beringsut menjemputmu, debar-debar aneh menggila dan melesak pada dalamnya dan pelan menyentuh dasar telagamu.

Aku tetap beranjak ketimur. Semakin ketimur semakin beragam kutemui wajahmu. Ya benar, aku menemukan wajahmu dalam pepohonan yang kamu, gerbong kereta yang kamu, pengamen yang kamu, ibu setengah baya yang kamu, semuanya adalah kamu. Dunia dan segala isinya tidak ada yang lain kecuali kamu. Inikah yang dikatakan kau maujud dalam segalanya. Kaulah segalanya Ta.

Ta, begitu aku selalu memanggilmu. Ta yang berati Cinta. Karena kupikir hanya itu yang kutahu tentangmu. Kaulah Cinta segala dan dengan segala Cinta

Kau ingat waktu itu Ta? Ketika dalam gigil ngeri kubisikan takbir untukmu, waktu itu seluruh semesta menyahut dengan rasa yang sama. Ribuan, ratusan bahkan jutaan takbir diserukan dengan cara dan bahasanya masing-masing. Mereka memujamu Ta. Ya, hanya memujamu. Burung yang pulang kesarang, air yang mengalir, gemulai ombak, banjir bahkan sampai gempa adalah takbir untukmu Ta. "Peganglah dadaku sayang, rasakan deburnya" bisikmu terbawa angin.

Kusambut tanganmu dan kupegang, kusentuhkan lekat di hati.

Ah, waktu berhenti seketika itu, dan betapa dahsyat rasanya aku tenggelam di dalammu. Kau hanya memandangku lekat. Dan diam. Jalanan lenyap dengan riuhnya. Pohon, bunga, patung, ribuan gedung dan nyala api termangu lalu kembali berebut bertasbih untukmu.

Aku mungkin mendahuluimu ditanah lapang itu, tetapi selebihnya kaupun mengerti. Kaulah mata air itu. Walau bila jujur, sebenarnya aku dibingungkan oleh antara mencintaimu, mencintai apa yang dicintaimu, mencintaimu dan kepadamu atau cinta bersamamu? Entahlah, cintaku adalah seluruh diri yang kuserahkan untukmu hingga tak ada lagi bisa disisakan.

Siapa yang kau cintai? Ah, kenapa kau ajukan pertanyaan itu lagi Ta? Tentu kau Ta, dan hanya kau. Bukan saja pertanyaan itu tidak adil. Tetapi apakah kau lupa atau sekedar menegaskan keraguanku? Mungkin aku tak memahami al-Hallaj ketika dia mengatakan kau ada dalam jubahnya. Tetapi aku yakin mereka berkata benar tentangmu.

Ketika aku memandangmu dari disudut ini. Semua nyala api dan panasnya bertekuk dilututmu dalam cinta. Bersama pijar matahari, kau menyelaku dengan pertanyaan-pertanyaan itu. "Kemana perginya matahari kala senja, atau sebenarnya dia tak ternah pergi?" Aku terhenyak, ya karena selalu dengan pertanyaan itulah kau mengusikku. Ta, bukankah kau tahu caraku mencintaimu adalah dengan cinta itu sendiri.

Ta, kau memang tak pernah memintaku. Tetapi ijinkan aku selalu bersujud dengan cinta di bawah tahtamu. Hanya itu Ta bahasa yang kutahu untuk memahamimu. Pagi, siang dan malam aku hanya ingin menjemputmu kemudian melelehkan diriku dalammu. Menghirupkannya di nafas dan menciumnya lekat semampu yang kubisa. Ah, selalu kau telah menunggu, sambil menghitung satu persatu keringat yang menetes dari keningku, ah dan kau selalu mengusapnya untukku. Ada saatnya aku ingin menjadikanmu patung dan kugenggam erat sambil meletakkannya disudut ruang itu.

Ta, aku mencintaimu dalam perjumpaan pertama itu.

(Sebenarnya ribuan waktu telah aku siapkan untuk saat ini, ciuman di kening, lilin, Jogja sampai Lawu. Selain itu, tak lupa kukemaskan sebait takbir dan sepotong lagu Internasionale)

Friday, July 27, 2007

Apakah Kau Letih

Aku mengenangnya sebagai seorang yang karib dan menyimpannya di dada. Dekat sekali dengan hati untuk di cintai. Menyematkannya pada secarik kertas, dan menulisinya dengan kata-kata penuh sayap di kedua punggungnya. Indah? Mungkin. Tetapi itu tak terlalu penting setelah sering malam-malam dihabiskan bersama untuk membaca. Membaca bintang, garis tangan atau tanda tahi lalat didada. Ya, kita baca segalanya sampai semua aksara dan kata kehilangan maknanya.

Suatu kali aku berkata padamu, "Sekarang aku sedang mencari jawaban kenapa aku mati tetapi aku hidup atau kenapa aku hidup tetapi aku mati." Atau kali-lainya, "Aku berpikir jahat ya? Ah, nggak lah, kupikir semua alami dan setia pada proses kok." Begitu aku menjawab pertanyaan yang ku ajukan sendiri.Kau tersenyum, tentu saja!! Dan aku tahu kau tertawa diam-diam ketika aku memalingkan wajahku menghadap kelangit. Seolah mencari jawaban disana.

Aku adalah penanya yang menyebalkan mungkin bagimu. Padahal kau sudah membawa-bawa nama paman Descrates untuk membuat aku berhenti bertanya sebentar saja, dengan sabar kau katakan "Kadang Descrates itu nggak selalu benar kok, cogito ergo sum...aku berfikir maka aku ada." Sampai suatu hari kau menyarankan aku agar diam sejenak dan membiarkan alam yang menentukan dan menemukan rumus-rumusnya. Dan sudah sifatku untuk ngotot dengan kemauan ku. Sampai hilanglah kesabaranmu, waktu itu aku mengatakan bahwa fitrah manusia itu ingin tahu. Dan kau ingat apa jawabanmu waktu itu? Kau lupa? Sini ku copy paste kan untuk mu (A_o : Ya...tapi banyak bertanya juga nyebelin lagi...). Wkakakaka... akhirnya sang nabi berubah menjadi umat. hihihi...oups sorry.

Sebetulnya dari awal kau bersepakat denganku. Membacanya adalah tafsir, dan mencintainya adalah hak. Sepakat untuk itu. Tetapi selebihnya kau menolak. Ya, kau menolak percintaanku yang sangat personal itu. Betul, cintaku adalah hak sekaligus kewajiban. Tetapi seperti selalu kaukatakan padaku, dia tetaplah ide, ya ide.

Yups, karena dia hanya ide maka dia tak punya tangan dan kaki yang menginjak di bumi. Padahal menginjak di bumi penting dan membuat sentuhannya riil serta konkrit. Dia masih peminjam mulut, peminjam tangan, meminjam kaki kita serta menggunakan otak serta nalar kita untuk menciptakan dunianya. "Sebenarnya, dia yang menciptakan kita atau justru kitalah yang menciptakan dia"

Sampai sini tentu saja aku bungkam. Bukan karena aku tak punya jawaban. Bungkamku karena, dia disini berkuping tipis serta berusus pendek. Begitu dia, begitu juga umatnya. Dia ditempatku jejaknya bisa dirunut pada orang-orang berjenggot dan bersorban yang merazia diskotik, meledakkan diri dengan ransel penuh bom atau menyesali ditolaknya Piagam Jakarta. Itu satu sisi. Sisi yang berseberangan juga tak kalah ekstrimnya. Mereka membajukan dia dalam kacamata-kacamata kekinian. Semuanya menjadi boleh.

"Kalau kamu?" Ah, nggak tahu. Aku hanya merasa, agamaku berbuat baik saja. Aku bukanlah pengikut Seikh Siti Jenar atau Sunan Kalijaga. Tetapi satu hal aku juga tak sepakat Arabisasi di tanah ini. Kenapa begitu, karena kupikir dia itu tumbuh kok. Tumbuh bersama manusia, menemani makan, menemani tidur, menemani kerja, menemani bercinta, atau kadang menemani kita ketika ngobrol. Yups, karena dia tumbuh dia mengerti kita. Sangat mengerti segala macam problem manusia. Selain itu dia sangat jauh dari sifat egois dan narsis, yang mengkoleksi nama-nama baiknya sendirian.

Ao, dia ku mungkin beda dengan dia mu. Tetapi selain itu kita punya banyak persamaan. Setidaknya kita sepakat bahwa jalan terbaik adalah jalan yang ditawarkan kawan dari Hijaz itu. "Rahmatan Lil Alamin?" Sip, itulah intinya Ao. Dia bukan pendendam yang suka main balas dengan ancaman neraka. Diaku juga bukan tukang sogok yang kemana-mana menenteng kapling surga dan dijajakan ketengan. Bukan. Sekali-kali diaku bukan seperti itu. Diaku adalah dia yang menenangkan tangis seorang anak kecil yang lapar. Diaku juga dia yang karib, yang sukarela blusak-blusuk di gang sempit dan becek sambil menebar senyum yang menguatkan. Dia ku juga dia yang merengkuh bahu, mengecup kening dan membibing si buta menyeberang.
Ya...
Diaku adalah dia.

Thursday, July 12, 2007

Nostalgia dibalik awan

Kumpulan awan terus berada bersamaku. Awan-awan itu sudah menutupi wajahmu dariku. Kutahu engkau ada dibalik itu, menungguku mungkin. Membayangkanmu, membuat aku hanya bisa tersenyum atau menangis pilu. Ingatanku kembali pada pertemuan-pertemuan kita dahulu. Ada tawaku, senyummu, air mataku juga belaian lembutmu dikepalaku.

Angin kencang itu meniupkan awan yang menutupi pandanganku padamu. Tapi itu hanya sesaat, karena awan baru dengan warna lebih kelabu sudah menunggu untuk kembali menutupi wajahmu. Aku hanya bisa terdiam. Berharap hujan akan turun, lalu muncullah wajahmu bersama matahari.

Kuingat renyah suaramu saat obrolan kita. Walau terkadang aku tak percaya bahwa kau ada disisiku duduk menemaniku. Kupikir aku mulai gila denganmu. Ah, bukankah aku memang gila? aku menggilaimu saat aku mulai mengenalmu.

Ta...itu panggilanku untukmu. Namun belakangan ini aku lebih suka memanggilmu dengan sebuatan Rob, kedengarannya cukup akrab. Walau kadang aku menghujatmu dan berteriak memanggil "hei" atau "kau", itu karena aku merasa begitu akrab dengamu. Menyebut namamu dengan versiku suatu hal yang sangat karib bagiku. Tak ada batas rasanya, hanya kau dan aku.

Rob, apakah kau sibuk? Masihkah kau mau menemaniku malam ini? Aku rindu Rob? Aku juga binggung. Kau tahukan? Biasalah, aku selalu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kau dan segala ciptaanmu. Tentang keadilan, kebenaran, nasib, takdir, bahkan keberadaanmu sekalipun. Aku masih sama Rob, masih suka bertanya. Dan kau masih saja diam, atau aku yang kurang bisa mengartikan dirimu? Aku tak tahu. Tapi aku ingin kau terus menemaniku. Bersama awan itu, juga matahari, angin dan hujan.

Kau ingat Juni? Juni begitu membekas untukku. Iya aku tahu, kau sudah tahu. Tapi Rob, Juni telah menjadi hantu untukku. Aku tidak bisa mengendalikan diriku lagi. Kau juga tahu, aku masih sibuk dengan awan-awan itu. Awan-awan itu mulai banyak menyita waktuku. Dari ujian akhir semester, kisah cinta, keinginan pindah kerja, belum lagi tugas dirumah yang juga meminta waktuku.

Tak bisakau berubah menjadi kabut? Agar bersama awan itu aku bisa melihatmu. Jangan marah Rob, bukan aku ingin menurunkan derajatmu. Aku hanya ingin selalu dekat denganmu, setiap saat bisa memandangmu saat kau berada diantara awan-awan itu. Mendengar suara renyahmu. Apakah sulit bagimu?

Rob, kau ingat wanita dicafe itu? Iya, yang datang dengan mengendong anak balitanya. Iya, yang berjalan pincang. Kau ingat juga Heru dan Chandra? Tuhkan, kau tersenyum. Masih ingat rupanya dengan para pengamen itu dan semangatnya. Ya, kau juga ingat bagaimana semangatnya aku untuk ikut bersama mereka. Tapi sayang, telpku tak terjawab pagi itu hingga sesuai kesepakatan aku dan chandra untuk berjumpa di blok-M, sebagai start awal kami ngamen batal. Lalu ingat Cemoro Kandang? Hi...aku bisa melihat wajahmu dengan jelas dibalik dinginnya Lawu saat itu. Sedikit siy, tapi cukuplah buat modal mengenalmu kelak.

Ah, semua itu membuat aku binggung. Hi, selalu kata bingung aku tuliskan dengan double "g", karena aku memang benar-benar bingung Rob. Apa arti semua ini? Ah, ada yang bisa membantuku?

Friday, July 6, 2007

MelihatMu

Malam itu aku melihatmu disebuah cafe dengan menggendong seorang balita. Letih jelas nampak di wajah tuamu. Dengan berjalan agak pincang kau mendatangi satu persatu meja para penggunjung cafe itu. Ada yang memberikan lembaran seribuan ada juga memberikan koin kuning lima ratusan bahkan ada juga yang hanya memberikan senyum sambil berkata "maaf ya bu".

Dimeja itu aku melihat seseorang tersenyum dan berangguk saat kau mengunjunginya. Sepertinya mengatakan "maaf ya bu". Lalu kau menunjuk kepada makanannya yang terlihat lezat dimatamu dan anak dalam gendonganmu. Jari telunjukmu menunjuk makanan sipenggunjung dan kemudian beralih menunjuk anakmu. Seolah sipenggunjung mengerti dan menggambil makanan yang kau tunjuk lalu memberikan separohnya kepadamu. Dengan ringkas kau tolak dan kembali mengacungkan jari telunjukmu berulang-ulang. Si penggunjung kembali mengerti, bahwa kau hanya membutuhkan satu untuk anakmu.

Kulihat sirat aneh dimata penggunjung itu setelah kejadian itu. Seolah matanya tak lepas terus membututimu hingga hilang dari pandangannya, karena kembali kau memasuki cafe yang berada di sebelahnya.

Aku melihat pantulan cahaya dari pipi penggunjung itu, sepertinya dia menangis. Tapi apa yang dia tangisi?

Kini aku melihatmu dimata penggunjung itu.

Saturday, June 30, 2007

Binggung

Melewati hari bersamamu adalah saat-saat yang berarti untukku. Kesedihan itu, derita itu, semua seakan sirna dengan kehadiranmu. Ribuan Mil kulalui untuk berjumpa denganmu, agar dapat membaca sedikit tentang dirimu. Namun sampai detik ini hanya sedikit yang kuketahui tentangkau.

Dari Bandara Sultan Iskandar Muda di Aceh hingga Soekarno-Hatta di jakarta. Dari terminal KA di Gambir hingga terminal KA express di Bogor. Dari terminal KA Tanah Abang hingga stasiun Solo Balapan. Dari Tawangmangu terus naik ke Cemoro Kandang. Terus ku berjalan untuk dapat menemuimu.

Aneka wajahmu kulihat di halte busway koridor IV yang sejuk hingga di dalam kopaja yang penggap itu. Dalam bajaj yang kumuh sampai taksi yang mewah itu. Dari nyamannya kamar dengan pelayanan lengkap serta tempat tidur yang empuk hingga apeknya kamar yang sempit dan kotor serta tidur hanya beralaskan selembar tikar pandan. Wajah yang sangat membingungkanku. Kucoba pahami tapi aku tetap tak mengerti. Tidak mengerti mengapa semua ini bisa terjadi.

Ta...begitu biasa kau kusapa. Tolong beri sedikit kisi-kisi tentang dirimu padaku. Agar aku bisa lebih memahamimu. Apa kau tak bisa mendengar suaraku bila terdengar bimbang saat memanggilmu?
Kini aku bertambah binggung dengan rasa yang bercampur baur dihati dan jiwaku terhadapmu.
Rasa yang tidak kumengerti. Dan sulit...sangat sulit kupahami.

Wednesday, June 27, 2007

Jejakku ; Mendaki Lawu

Stasiun Tanah Abang di malam yang masih sangat muda. Dalam perut KA Bengawan kugolekan tubuh bercampur kumuh, dekil dan bau yang menyatu bersama cinta. Bau keringat sahabat -sahabat yang belakangan ini coba kuakrabi untuk membaca-nya. Membaca bahasa-bahasa mu yang terserak sepanjang perjalanan.
Ketika ular raksasa itu perlahan beranjak dengan dengus, pepohonan menjelma menjadi bayangan hitam yang berlarian sepanjang jalannya, juga rumah-rumah kumuh dibantaran kali berebut cepat mengejar ekor kereta. Ya, aku melihat-mu lagi, di bordes kereta beralaskan selembar koran, kau meringkuk bertubuh pengemis tua bermata buta.
Sebetulnya waktu itu aku ingin sekali menyapa-mu, sambil diam-diam kusorongkan sepotong doa kewajah-mu yang lelah itu. Ah, sepertinya Kau nampak lebih tua dengan segala carut-marut dunia ini. Bahkan rambut-mu pun sebagian terlihat memutih, ditambah lagi kerut-merutnya kerentaan yang tercetak diwajah. Kamu capek ya?
Pada akhirnya memang kuurungkan teriakku, teriak yang nyata-nyata akan kembali menyakiti-mu. Sebagai gantinya kubisikkan selarik kalimat lirih tepat ditelinga-mu. Mana janji-mu sayang? Atau kau pura-pura lupa dan berlagak tertidur lelap diayun kereta?
Andai kau lupa, biarlah kusegarkan ingat-mu; "Dan kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi."
Bukankah itu janjimu ? Tetapi apa yang mereka warisi. Remah dan sisa pesta serta piring-piring kotor yang menunggu di bersihkan. Karena nyatanya yang kupotret di sepanjang bantaran-bantaran sungai dan juga digang-gang gelap, sahabat-sahabatku tetap menjadi budak. Budak yang dikebiri kesadaran kelasnya. Terbudakan karena struktur yang menindas serta tangan-mu yang mencengkeram erat sambil meminjam nama takdir membungkam kehendak bebasnya.
Ah, selalu kau bohong lagi? Karena tak pernah sekalipun kulihat kau akrab dengan mereka, bahkan sepanjang yang kutahu, kau lebih nyaman di suap dengan baju-bajuan serta ritual-ritual yang konyol itu khan? Juga selalu kau palingkan wajah-mu dari bersitatap dengan mereka.
Aku menggugat-mu lagi. Karena kau pikir mereka bisa memilih dari rahim mana dan dari kelas apa mereka dilahirkan? Milyaran doa yang mereka terpanjatkan tiap detiknya terpental kembali ketika mencoba menggapai kursi-mu. Kupikir segala keluh yang dikemas menjadi ratap dan pasrah adalah bodoh. Karena toh milyaran doa tetap tersia-sia setiap detiknya. Haruskah kuhabiskan waktuku untuk menunggu-mu?
Ah, yang ku tahu sekarang, dadaku hanya penuh oleh marah dan kecewa pada-mu. Aku kecewa karena kau lebih memilih wajah Heruka yang dashyat dan bercorak demonic untuk menunjukan kuasa-mu. Begitukah? Berbahagiakah kau dengan persembahan-persembahan ala Tantrisme Bhirawa yang berdarah-darah itu?
Sebotol air mineral kuteguk pelan sambil kuraih makan malam sekedar meredakan marah; nasi bungkus bertumis kangkung serta sepotong ayam goreng warung tegal.
Ular raksasa yang kutumpangi masih tetap tak perduli, berlari menembus pekat sambil mulutnya rakus menelan jarak dan asapnya sendiri. Menjelang Cirebon, Bumiayu, lalu Purwokerto terlewat ditengahnya malam. Menyusul Kroya, Gombong dan Kuthoarjo ketika langit di timur menyala. Jogja terlewat bersicepat dengan pagi, dan Solo Jebres terhenti di sepenggalah matahari.
Dan dingin langung mendekap erat ketika Tawangmangu terus naik ke Cemoro Kandang. Ah, nasi pecel Pak Mo rasanya masih abadi seperti dulu. Sepotong tempe goreng, telur dadar, teh manis berteman latar-belakang kampung-kampung dikaki kejauhan bukit terasa khidmat.
"Aku menyerah, kita bermalam disini saja" ucapku dengan kalimat putus-putus padamu. Nafas yang tinggal seujung seperti bertaruh dengan penat setelah sepanjang sore menyusuri jalan mendaki dari Cemoro Kandang sampai terhenti di Penggik ini.
Langit yang rebah dengan ribuan cahaya yang berbaur dengan pijar bintang mengukir warna-warna aneh di kakiku. Berbalut kabut dan gigil dingin, tubuhkulah yang sekarang meringkuk dalam kantong tidur. Dingin dan dingin sekali.
Paginya seekor burung Jalak gunung membangunkanku dengan gunjingnya. Bulunya yang sewarna tanah nyaris mengecohku ketika kubiarkan dia nyeruput kopi sisa semalam. Aroma Anaphalis Javanica menyergap hidungku. Wanginya nyaris memingsankanku karena rasa indahnya seperti ekstase oleh gemuruh serotonin yang membanjir.Ah, sekali ini aku ingin ekstase lagi oleh mu, terbakar dan lebur bersama cahaya pagi yang menghangatkan tubuhku. Ya, aku melihat-mu lagi, dalam selarik cahaya di horizon. Kau maujud dalam terang seperti Amun-Ra yang menginspirasikan pyramid-pyramid megah dibangun.
Tuh kan kau mengeluh lagi, aku agak bawel dalam mencintai-mu ya? Karena kau yang ingin kucintai, adalah kau yang ramah terhadap lapar dan pedih. Ah, kaukah itu yang kutemui dalam tetirah ku kali ini ke Lawu? Atau perjalanan ini sia-sia saja?
"Tak ada yang sia-sia kupikir, seperti jelata jawa yang berduyun-duyun menggapai puncak menjelang 1 Syuro di Lawu, ini adalah perjalanan untuk menemukan sang pangeran dan pengakuan ketertundukannya pada sang pribadi" ujar sebuah suara lekat di telingaku seperti berbisik.
Ah, ternyata tetaplah aku jelata di hadap-mu.

Thursday, June 21, 2007

Jejakku ; Kita ada dimana Ta?

Aku meringkuk dalam gigil yang pekat di sudut ruang yang tak berbatas rasa. Di depanku tergelar lambat fragmen-fragmen kenangan, ia berloncatan seperti peluru liar yang di tembakan menyapa lesannya. Ada sepi, ada senyap dan ada saja riuh aneh yang menghujam jauh kedasar hati meninggalkan maha perih yang akrab. Ta, kau tahu kupunggungi nasib yang sunyi bisu untuk sampai padamu disini sambil mendekap erat rasa aneh di perut yang pelan-pelan menjalari.

Di luar, hujan masih menderas pagi ini. Suara dentingnya menghempas genting dan melontarkan percik-perciknya memudar. Gang depan rumah tergenang pelan dan keriangan merunyap dalam pagi bermendung. Seperti tersadar, ternyata dihadapan kita hanya ada sepotong kue keju dibagi dua berteman kopi diatas tikar pandan. Ta, girisku tercenung akan waktu yang tersedot dalam pusaran ngeri menjadi penjara untukmu kah?

Seekor kecoa sengaja melintas menyelinap dari celah pintu, bergerak cepat menyusuri tikar pandan. Sungutnya yang panjang bergerak-gerak genit sementara mulutnya menyunggingkan senyum seperti meledekku. Tahu nggak Ta, remah kue keju menghentikan langkahnya. Eureka!! Kue keju itu lebih dari cukup untuk membahagiakannya. Aku malu Ta, sungguh-sungguh malu. Kecoa itu menampar telak kesahajaan di jantungku.

Aku ingat Heru Ta, juga ingat Candra yang bersemangat. Juga ingat malam kemarin yang penuh senandung di terminal Blok M itu. Ah, mereka begitu ringan melawan takdirnya. Sederhana saja, hidup adalah menyanyi. Setidaknya dalam perut bus AC jurusan Blok M-Kalideres cerita tentang bertahan di Jakarta menjadi begitu riangnya.

Dimana mereka ya Ta? Ketika malam tergelincir dan bulan mengintip malu-malu, kita meninggalkan janji dalam sepotong kata. "Kakak yang menyanyi, aku yang pegang gitar dan biar Heru yang membuka salam" ujar Candra masih bersemangat. Paginya dering telepon dan sekalimat pesan pendek untuk Candra tak berbalas. "Mungkin repot, bagaimana bisa balas sms bila sambil pegang gitar" ujarmu padaku. Ucapanmu barusan malah kembali menghadirkan bayangan Candra dan Heru dalam lamunku, berlompatan dari satu bis ke bis yang lain. Sambil menyanyi, sambil mentertawakan Jakarta kulihat mereka mengacungkan jari tengahnya pada gedung jangkung yang sombong.

Taukah kau apa yang kurasakan sekarang Ta? Memandangi jejakMu yang menembus petak-petak berhimpit dan beradu sikut sangat meletihkanku. Kenapa ? Karena aku mengenal betul rasa itu dan tentu saja aku menggugatMu! Bagiku kau mirip Kisra yang sembab mengenang benteng-benteng perkasanya yang jatuh satu persatu ketangan musuh. Ketika perlahan tapi pasti musuh mengepung istana, tak ada lagi harapan. Ya, semua selesai begitu saja.
"Seperti Kisra akupun akhirnya menyetubuhi takdirku dengan terpaksa" ujarmu menahan sedu itu.

Ta, kupanggil namaMu di lereng Cemoro Kandang, Tamansari sampai Penggik di Lawu. Panggilanku menembus kabut dan melenyap bersama dingin, sementara yang kudapati hanya senyap dan bau belerang yang menyengat. Ah Ta, aku ingin menghentikan waktu dan menyelusupkan kenangannya menjadi pedang tajam yang mengiris nasib serta memotong-motongnya menjadi serpihan kecil lalu menghembuskanya pada matahari.

Aku mencium edelweiss itu. Menghirupkan aromanya pada hati dan menyemayamkan keabadiannya disana.

Tuesday, May 29, 2007

Badai

Pagi itu mendung mengantung tebal dilangit. Semakin lama semakin tebal dan menutupi setiap permukaan langit yang biru. Ada apa gerangan pikirku? Mungkin akan hujan jawabku menenangkan diri. Karena sudah beberapa lama panas terus mengeringkan tanah ini.

Namun tak kulihat akan turunnya titik-titik air itu. Udarapun tidak berubah menjadi sejuk. Dan aku agak sedikit gerah dengan cuaca ini. Aku mulai takut…

Kudatangi tetanggaku. Sekedar mencari teman dalam kegelisahan ini. Setelah bertemu dengannya tahulah aku, bahwa awan yang tebal itu bukanlah pertanda akan turunnya hujan. Tetapi badai yang akan menerjang.

Aku mulai gemetar. Tak kudapati persiapan apapun dirumahku. Tidak seperti tetanggaku. Dia telah mempersiapkan diri untuk badai ini. Mulai dari penutup semua jendela, pintu, dan atap dengan kayu yang kuat dan kokoh.

Aku mulai panik. Aku berteriak-teriak. Ta…Ta…Taaaaaa…… tapi tak kudapati sedikitpun jawaban. Lalu aku berteriak lebih keras lagi. Taaaaaaaaaaa……….dan melemah saat tahu tak kudapati kau menjawabku. Dan panggilanku melemah Ta…Ta...Ta… kau dimana? Jawab aku Ta. Ucapan itu terbang bersamaan dengan airmata ini yang jatuh deras ke bumi.

Maafkan aku Ta. Kumohon kembali. Aku membutuhkanmu. Maafkan aku yang menyadarinya terlambat atau bahkan hanya saat aku merasa jatuh dan terpuruk dari dunia ini. Maafkan aku…kukatakan semua ini padamu sambil sujud merendahkan diri.

Ta. Kembalilah kepadaku. Ajari aku lagi. Bimbing aku. Jangan katakan kau muak padaku. Cukup…cukup mereka yang muak padaku, tapi jangan kau…jangan kau Ta

Kujemput kau agar dapat bersamaku lagi. Bersama datangnya badai yang membawa semua segala kepongahan, keserakan dan keegoisan diri ini. Masih terngiang ditelingaku bahwa setelah badai itu berlalu aku akan menemukan pelangi disana. Semoga.

Sunday, May 27, 2007

Ta..

Semalam aku menemuinya. Disebuah sudut ruang penuh debu, sendiri dan manyun. Tangannya memeluk lutut sementara nafasnya mengalir berat satu-satu.

Aku yang semula ingin sekedar menyapa jadi mengkeret. Kuurungkan niatku berakrab-akrab melihat mendung murung wajahnya. Malam mengalir pekat dengan suaranya yang pelan sunyi ini meresahkanku.

"Hai" sapaku memberanikan diri. Sepintas kulihat mukanya kusut dengan matanya yang merah-mungkin kurang tidur- menakutkanku. Sapaku tak di jawabnya, hanya tangannya mengambil sebuah kertas kusam dan robek di sana-sini, bertuliskan "DO NOT DISTURB" dengan huruf kapital besar-besar.

"Ah, kau bersedih lagi, kenapa?" Tanyaku terbiar menggema tak berjawab. Menggantung dilangit-langit dan pelan merayap membentur-bentur arasymu.

"Ini apa lagi Ta?" kulihat setitik air bening menetes dari sudut matamu. Mata yang tetap berkabut walau nyaris jutaan kali kucoba menghapusnya. Aku melihatnya.

Tapi mengapa matanya melihatku begitu ya? Mata itu biasanya menatap hangat dan lembut. Dia akan merangkulku dengan mesra dan berkata dengan sangat halus, walaupun saat itu dia sedang tidak mau diganggu. Biasanya dia hanya berkata "Maaf sayang, aku sedang sibuk. Andai keperluanmu begitu penting, kau bisa menulis pesanmu di kertas atau bila kau ingin menjumpaiku lagi, kau bisa sms atau miscall aku. Aku akan menjawab pesanmu" Sambil ditutup sebuah ciuman dikening dengan segala kasih sayangnya.

Apa yang terjadi denganmu Ta? Ah..aku masih juga mepertanyakan itu. Aku tidak akan menemukan jawabannya jika hanya terus bertanya pada diriku. Sementara tafsir tentangmu lebih sering di monopoli untuk seribu satu mau. Mereka mengikatmu disudut dan hanya indah untuk di persembahi segala puja-puji itu. Ya, mereka kenakan baju-baju sempit untuk memasungmu. Menyogokmu dengan doa, mantra, lalu memasangkan mahkota dengan nama-nama indah sementara ritual-ritual yang rigid menodai sucimu.

"Salah apa aku? Hingga kupikir ada yang pernah benar-benar tulus mencintaiku. Cinta mereka berpamrih sorga atau takut neraka. Bukan, bukan itu maksudku mencipta semua." Kau mengeluh dengan suara pelan.

"Bahkan kau tahu kan? Seringkali mereka meminjam namaku, untuk membunuh, memaksa, dan sementara mereka selalu lupa mengembalikannya padaku"

Ah, kau bersedih dan menangis untuk ini rupanya.

(Aku harus menemuinya lagi dan menanyakan apa yang terjadi terhadap dirinya. Biarlah. Aku juga sering begitu. Mungkin sedang banyak masalah saja. Mengurus semesta dan milyaran takdir pastilah merepotkan sekali. Hi..hi.. aku saja untuk mengurus diri ini sendiri saja tidak kelar-kelar, apa lagi dia.)

Ta, aku kangen sentuhmu...

Friday, May 25, 2007

SENTER

Sekian lama hidup tanpa cahaya dan larut dalam kegelapan pekat. Hari ini, entah malaikat mana yang berbisik, tiba-tiba aku ingin sekali bersujud dan berdoa padaMu.
"Tuhan berikan cahayamu dan tuntunlah jiwa yang lemah ini menuju jalanmu. Terangi kegelapanku dan tunjukankan padaku haq adalah haq dan bathil adalah bathil. Ya, Tuhan aku lelah dan berikan sinarmu..."
Sebuah suara terdengar menukas, "Aku Tuhan. Bukan senter, Goblok!" ujarnya ketus sambil berlalu.Duhh..


Hi...saat pertama sekali membaca posting ini aku langsung senyum-senyum sendiri. Ya, gimana nggak, masa siy Tuhan gitu. Tapi bener juga. Tuhan sering kita perlakukan seperti senter. Dinyalain saat merasa berada dalam kegelapan (ini biasanya kalau lagi susah dan merasa hidup luar biasa nelangsa) dan kita matikan saat merasa tidak berada dalam kegelapan lagi (ini biasanya lagi happy dan diliputi berbagai keberuntungan). Padahal Tuhan bukan senter. Karena Dia cahaya kita. Dia seharusya bukan jadi barang yang hanya dipakai sesaat saja. Disaat butuh dipakai, saat merasa tidak butuh, disimpan dan ditempatkan jauh disudut kehidupan kita bahkan kita sering mengambil pelita lain untuk menerangi kehidupan kita, yang sebenarnya pelita itu cuma bias, bukan cahaya. Bukankah KeberadaanNya seharusnya bagai pelita didalam jiwa, dekat dan menerangi langkah hidup kita.

Tapi bukankah Tuhan dapat berbeda-beda penafsirannya. Bahwa Tuhan orang yang menulis posting diatas ini seperti senter, sehingga Tuhannya pun menegurnya dengan cara itu (ini bukan mau mengkoreksi bentuk Tuhan tiap orang). Mungkin tuhan kamu seperti lilin, dimana kamu harus mencari korek api terlebih dahulu untuk menyalakannya. Atau ada orang yang Tuhannya seperti api, dan dia selalu terbakar didalamnya.

Sebagai seorang muslim, kuakui bahwa Allah yang kukenal, atau diperkenalkan kepadaku, bukanlah Allah yang cintaNya merupakan samudera tak bertepi, yang anugerahNya seperti langit tak berujung, yang amarahNya dikalahkan oleh rahmatNya serta yang pintu ampunanNya terbuka lebar sepanjang saat. Tuhan dimana kamu bisa ngobrol dan bercinta dengannya kapan saja, dimana saja tanpa perlu perantara seperti kamu akan menemui pejabat negara yang penuh dengan birokrasi dan tetek-bengek yang mempersulit. Tapi yang diperkenalkan kepadaku adalah Tuhan yang Maha Pedih siksaNya atau yang Maha Besar ancamanNya. Tuhan yang hanya bisa ditemui dengan melakukan ritual-ritual tertentu saja. Tuhan yang kalau kutemui harus sopan bangeeeeeetttt berbicaranya. Tuhan yang hanya bisa mengerti satu bahasa.

Apakah yang sedangku Tuhankan sekarang? agama? atau Tuhan itu sendiri?. Kadang pikiran-pikiran itu muncul dan aku berusaha mencari jawaban untuk itu.

Tuhan memang teramat dekat, sehingga sering terasa teramat jauh. Tuhan ada dibalik mata, sehingga sering tak mampu melihatNya. Tuhan ada didalam telinga, sehingga sering tak mampu mendengarNya. Sehingga Tuhan berfirman melalui sahabatku yang lahir di abad ke-6 itu Muhammad bin Abdullah dalam sebuah hadist Qudsi : "Siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya."

Sudahkah kau mengenal dirimu??????

Thursday, May 17, 2007

C I N T A

Cobalah mencintai seseorang, bukan sekadar mengharap kamu akan mendapat sesuatu dari dirinya. Cintailah dia karena dia. Bukan sekadar karena bening matanya menenggelamkanmu dalam samudera rasa tak terperikan, apalagi cuma karena bau tubuhnya membangkitkan saraf-saraf birahimu. Tetapi dengan penerimaan pada kompleksitas dan kerumitan dirinya, pada kekurangan dan ketidaksempurnaannya.
Cinta tak harus memiliki...
Cinta tak juga harus bersama...

Begitulah kata orang. Tetapi, betapa nikmatnya, ketika bercinta kita bisa memiliki dan selalu bisa bersama dengan yang kita cintai. Rasa ini, memiliki dan bersama yang dicintai, rasa yang sudah lama ku tinggalkan. Saat itu pemikiranku sampai pada pemahaman yang sangat kupegang teguh.

Kau bukan milikku...
Dan aku bukan milikmu...
Bahkan aku sendiri bukanlah milikku...

Cintailah cinta. Cintai hanya cinta itu saja. Maka saat itu kau tidak akan terluka. Bahkan saat yang kau cintai tidak membalas cintamu atau tidak mencintaimu lagi.

Begitu caraku memandang cinta dan kepemilikan. Lalu aku tersandung pada kejadian yang membuat hati ini miris. Karena saat ini aku begitu ingin memiliki yang kucintai. Ingin selalu bersamanya. Dan itu tidak bisa. Masalahnya bukan pada ketidak-bisaan itu, tetapi pada aku yang kemudian mempertanyakan kepada diri ini tentang pemahaman yang selama ini aku yakini. bukankah orang yang sudah memahami konsep cinta dan kepemilikan seharusnya bisa selalu menerima bahwa cinta tidak sama dengan kepemilikan? Bagiku cinta bukan mengekang tapi membebaskan.

Cinta dan sayang...Dua kata yang suka dibeda-bedakan. Katanya kalau sayang belum tentu cinta, tetapi bila sudah cinta pastilah sayang. ah...orang mulai terpenjara dengan kata. Bagiku sendiri, sayang dan cinta hanya untuk membadakan kadar, intinya sama. Sama-sama untuk menunjukkan adanya rasa Kasih. jadi saat ditanya sayang atau cinta, maka bagiku sama saja.

Sama seperti saat seorang cowok yang naksir kepadaku menanyakan apakah aku cinta kepadanya? aku menjawab "iya, aku cinta", lalu ia bertanya lagi apakah aku cinta juga kepada pasanganku? aku lagi-lagi menjawab "iya, aku cinta". Lalu ia menggugatku. Katanya aku tak bisa mencintai dua orang sekaligus dalam satu waktu. Aku harus memilih. Bagiku apakah saat aku mencintai orang lain maka aku tidak bisa mencintai yang lain? bagiku semua harus dicintai, disayangi, namun dengan kadar yang berbeda-beda mungkin, atau dengan cara yang berbeda-beda pula. karena C I N T A itu universal, maka jangan pernah mengkotak-kotakkannya dalam keinginan-keinginan kita tentang cinta, apa lagi sampai memenjarakan makna cinta itu sendiri.

Cinta juga harus proporsional kukira. Tidak bisa juga saat seseorang mengatakan cinta lalu itu artinya sebuah pengekangan, pengekangan akan cinta...yaitu kepemilikan. Aku sering mengatakan bahwa aku menyayangi mereka (cowok-cowok yang naksir kepadaku). Namun kemudian mereka meminta aku untuk menyayangi atau mencintai hanya mereka saja. Padahal dijiwa ini, mereka sudah punya porsi tersendiri, tempat sendiri-sendiri. Tidak ada satu saling menggantikan satu dengan yang lain. Yang ada hanya itu, perbedaan kadar. Bahwa si A ada didalam jiwaku, si B juga ada disana, Si C-Z ada juga disana. Tidak ada yang saling menggantikan, hanya saja pada saat aku melakukan hubungan yang lebih dalam dengan si C, mungkin kadarnya akan berbeda dengan si A, B atau Z, tapi aku masih sayang kepada mereka. Jadi tak salah bila ditanya apakah aku sayang/cinta kepada mereka? aku akan menjawab "YA"

Cinta harus berkorban...

Pecinta sejati tidak pernah mengorbankan apapun. Karena apapun yang dilakukan pecinta untuk yang dicintainya semua berdasarkan cinta. Dan apapun yang dilakukan demi cinta bukanlah suatu pengorbanan, melainkan suatu kesenangan dan kebahagian. Bila sudah cinta maka tak ada kata pengorbanan disana, yang ada hanya kesenangan, kerelaan, kebahagian.

Saat ini banyak orang yang terluka dengan cinta mereka. Bila dipikir-pikir, saat rasa itu masih ada sebenarnya mereka belum benar-benar cinta. Mereka hanya mencintai keinginan-keinginan terhadap yang dicinta. Maka pada saat yang dicinta tak sesuai dengan keinginan mereka, mereka kecewa, sedih dan terluka. Namun bila cinta itu hanya mencintai cinta itu sendiri, maka apapun yang terjadi terhadap yang dicintai, cinta itu tetap bersemi dihati dan jiwa.

Aku pernah menanyakan kepada seseorang, saat aku rasa seseorang itu telah banyak melakukan yang bagi sebagian orang di sebut pengorbanan. Yang kutanyakan adalah apakah dia merasa terbebani dengan hal-hal yang bila orang lain mungkin tidak mungkin mau melakukannya? dan itu dia lakukan untuk orang lain. Orang ini hanya menjawab kalau seseorang sudah mencintai sesuatu, maka apapun yang dilakukannya berdasarkan cinta bukan keterpaksaan yang membebani. Dan yang mebuat aku salut adalah dia mengatakan tidak akan menyesal saat yang dicintainya meninggalkannya.
Karena cinta itu proses. Saat kita melakukan sesuatu untuk yang dicintai, "saat-saat" itulah kita menikmatinya. Nikmati prosesnya, jangan hasilnya. Karena hasil bukan milik kita.

Cinta Ilahi

Berbeda dengan mencintai makhluk, cinta kepada Tuhan memberikan segalanya kepada kita. Selain cinta dan rasa rindu yang selalu menggelora, kita juga bisa memilikiNya. Dan sekaligus, bisa selalu bersamaNya. Kurang apa lagi!?!

Aku mulai bisa mencintaMu hanya dengan cinta itu. Tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi pada diri ini. Aku bisa tersenyum saat harus berpisah dengan orang yang ku cintai, bisa tetap tertawa disaat lagi tidak punya uang, sakit, dikecewakan, etc...bahkan aku bisa menggugatMu untuk hal-hal yang tidak aku pahami mengapa Kau adakan hal tersebut, semua karena ada Engkau. Aku mencintaiMu dan aku mencintai apapun perlakukanMu kepadaku. Karena bersamaMu aku bisa tenang dan bahagia, Kaulah yang menemani tidur malamku, aktifitas kerjaku, teman diskusi saat aku merasa terpuruk dikehidupan ini.

"Ta..." begitu aku memanggil Mu
"aku lagi binggung niy..."
"yuk duduk disampingku..."

Itu saat aku begitu kangen dan ingin curhat kepadaMu. Dan kita mulai berbicara dengan bahasa kita. Ya...bahasa yang hanya kita yang mengerti. Hanya Kau dan aku.

"Taaaaaaa...."
"hi...aku kangen"
"kita nge-date yuk malam ini..."

Date bersamaMu bagiku adalah saat kita bisa saling ngobrol dan Kau menjawab pertanyaan-pertanyaanku, diselingi cumbu itu.

Terima kasih Ta...

Wednesday, May 9, 2007

Suara Itu..

Terus coba kuabaikan suara itu. Namun suara itu tetap memanggil dengan kelembutannya. Suara itu begitu merdu dan menggoda jiwa ini untuk menghampirinya. Namun aku tak kuasa untuk menghampiri.
Ah, suara itu terdengar lagi. Ada apa gerangan? Apa itu suara kematian? Tak mungkin, ini bukan suara kematian. Suara kematian tidak begini, suara ini begitu merdu. Bagaikan seorang kekasih yang memanggil belahan jiwanya. Atau ini suaraMu kekasih?
Kekasih yang sudah lama kutinggalkan dalam pertemuan ritual, karena aku sering bersamaMu disaat santaiku. Kadang Kau ikut menemaniku dikampus, dikantor atau saat aku berada dicafe. Tapi sejak "hari itu" Kau ku tinggalkan entah di halte mana atau tertinggal dirumah, aku tidak ingat lagi. Apakah Kau yang memanggilKu?

Tuesday, April 10, 2007

Sang Pemberi (Hadiah Embun untuk Matahari)

Malam baru beranjak separuh, sisa yang separuh masih memanjang dan menjadi pemuja kegelapan. Aku sedang terduduk mendekap dingin, ketika tiba-tiba kau bertanya, "Kita ini siapa, apa yang sedang kita lakukan?" aku jelas tergeragap, bukan karena tanpa ujung pangkal kamu nyelonong menggugat, tetapi lebih karena, kau bertanya sambil menciumku lembut. Debur aneh dengan warna-warni menyergap memiaskan wajahku.
Untungnya sadarku masih dominan karena bayangan Kebangkitannya Tolstoi langsung melintas. Ya, bangsawan itu dengan kelugasan-nya menggambar jelas seolah menjawab pertanyaanmu, "Di dalam diri Nekhlyudov, seperti halnya didalam semua orang, terdapat dua macam manusia. Yang pertama adalah manusia rohani yang mencari kebaikan bagi dirinya, kebaikan yang kiranya dapat menjadi kebaikan juga bagi orang lain; sedangkan yang kedua adalah manusia binatang yang mencari kebaikan hanya demi dirinya sendiri, dan demi kebaikan itu ia mau mengorbankan kebaikan yang seharusnya untuk seluruh dunia,"
Manusia menjadi sangat sederhana bagi Tolstoi, tetapi justru itulah intinya. Manusia dipahami sebagai manusia itu sendiri, manusia yang dilepaskan dari segala atribut-atribut yang membebani, manusia dipahami bukan hanya sebagai pengambil saja tetapi sekaligus di potret sebagai sang pemberi yang tiada putusnya.
"Tetapi bagaimana aku memilih menjadi yang mana?" kamu mendesakku. Pertanyaan ini jelas merepotkanku, bahkan aku tahu, karena kamu memang selalu bersetubuh dengan ketakutan maka ketakutan-ketakutan itulah yang kemudian menjadi utama.
"Pertanyaannya justru bukan itu, karena mestinya yang kamu tanyakan adalah untuk siapa kemanusianmu itu?"
"Ketika kamu memilih menjadi pusat, maka jelas kau menempatkan "dirimu" dalam segalanya dan sisanya menjadi tidak penting. Lain halnya jika kamu memilih untuk bergabung dalam ketiadaan, kamu akan menjadi ada dengan apapun yang kau mauinya."
"Kembali setelah keluar dari diri sendiri adalah gerakan maha sulit, apalagi dengan pengenalan kita yang menganggap justru kitalah sang dunia itu. Dan yang paling susah adalah menghidupkan kembali apa yang telah di bunuh oleh dunia melalui dekadensi dan keterasingannya. Ini bukanlah kerja-kerja yang dapat diselesaikan sambil lalu saja."
"Tetapi bagaimana kita melakukannya?" sergahmu cepat. "Bukankah, dunia, peradaban, budaya dan manusia itu sendirilah yang harus menjadi tempat mulai, karena pada akhirnya dia akan menemukan "dirinya" pada dunianya sendiri. Suatu wujud yang hidup haruslah dibangkitkan dalam setiap benak kita. Harus ada yang mau berdiri sebagai saksi dan mengatakannya. Karena setiap tindakan apapun yang dilakukan, mau tidak mau akan membuat kita berhadapan dengan takdir, sejarah, masa depan dan keesokannya dipertaruhkan. Lalu mestikah kita menyerah pada pencapaian ini?"
Diluar langit masih berbintang, sama dengan hampir tiga bulan belakangan ini. Kadang terang benderang penuh bintang, tetapi kadang hanya satu, dua atau tiga. Tak penting, toh artinya tetap sama, masih berbintang dan seperti biasa terlihat rakus menelan puji-pujian.
"Nah, cobalah lakukan sendiri," ujarmu berbisik dari belakang punggungku.
"Dihadapan dunia, kita mestinya bukan hanya berhenti menjadi saksi, selain perenung yang telah mengorbankan aksesori dan diseru untuk menetap, bukankah kita juga harus bergerak? Menuju menara dan dinding-dinding benteng yang lapuk dan berinisiatif membangunnya kembali," kamu menderukan kata-katamu merangsek kedalam pendengaranku lalu melesat kedalamnya dan bersemayam dalam benak diam-diam.
Seperti masih belum cukup, deruanmu kembali terdengar, "hanya dengan menjadi penyaksi kita telah menghasilkan anak-anak yang sakit, anak-anak yang kelaparan dan rusak. Ketidakpedulian, kesemena-menaan, penganiayaan, dekaden, hasrat menginjak-injak orang, bukankah itu berarti menginjak-injak hak dan mencampakan semua nilai kedalam kubangan lumpur?"
Ah, gugatanmu mengingatkan pada sosok Iqbal, mistikus agung itu tegas merumuskan. Aku baca dan sekaligus aku kutipkan untuk menjawabmu, "Satu-satunya tenaga ampuh yang akan melawan sebab-sebab kemerosotan dalam suatu bangsa, ialah dengan membentuk individu-individu yang berkepribadian. Individu-individu yang demikian itu sudah dapat menyatakan arti hidup yang sesungguhnya. Mereka membukakan cara-cara baru yang akan membuat kita mulai melihat, bahwa lingkungan kita bukan sesuatu yang suci dan tak dapat di ganggu-gugat, melainkan masih perlu diperbaiki."
Kulihat kamu terhenyak bingung, mungkin karena aku tiba-tiba saja mengutip Iqbal, bukan Rumi atau Rabi'ah seperti selama ini. Matamu membesar dan aku melihat kerjap yang indah disudutnya.
"Wah-wah, kamu kok menjadi semakin cantik siy..?" ucapmu lebih mirip sebuah godaan dari pada pujian yang tulus.
Selalu kamu begitu, tiba-tiba berbelok di tikungan terakhir atau menginjak rem kuat-kuat menjelang finish. Tolstoi menguap, Iqbal menguap apalagi Rumi dan Rabi'ah, sebagai gantinya warna-warna pelangi merunyak menjadi dominan. Aku mengeluh diam-diam, menengadah langit memandang bintang dan berusaha mencari pegangan.
"Sudah ahh...sudah.." aku masih tergeragap. Ada senyum diam-diam di ujung bibirmu, ah.. itu pasti karena pipiku yang tiba-tiba merona merah.
Untunglah, seperti paham betul ketergagapanku kau melanjutkan dengan Iqbal juga, bahkan kali ini kau kutipkan puisi indahnya.
"Di pintu, jiwaku berdarah dalam memohon pertolongan tidak berarti bagimu. Pada akhirnya ia menawarkan engkau semua semangat dan duka laranya. Seuntai sungai tercurah turun dari langit biru. Airnya tersuling melalui hatiku yang terbakar. Dan saya mengarahkan alirannya melalui lubang yang lebih tipis ketimbang anak sungai. Untuk membuatnya tetap mengalir dan air dari kebun buahmu."
"Ya, Iqbal meminta kita untuk kembali menyadari wahyu itu dan menangkap kembali kemuliaan-kemuliaan yang telah lama terlepas dari tangan kita"
"Mari kita temukan dan mulailah mencarinya dari dalam"
Ya, tiba-tiba aku menangkap pesannya. Pesan universal yang berkumandang dari Hijaz sejak belasan abad yang silam.
"Ya kamu betul, pencarian harus dimulai dari dalam," ucapmu, kali ini terdengar lebih tulus. Didalam hatiku pelan-pelan rasa hangat bersemayam, terasa damai dan menyejukan. Kugenggam tanganmu dan kubimbing dirimu melangkah menuju cahaya.

Monday, April 9, 2007

Ini siy sudah pernah Tuhan

“Hihihi…datang lagi deh ujian Mu pada ku” tawa ku senang. Kau yang melihat ku menjadi heran. “mengapa kau tertawa?” tanya mu. Aku hanya tersenyum sebagai jawaban atas pertanyaan mu. Seandainya kau tahu mungkin kau akan tertawa pikir ku.

“Apa kau tidak takut berpisah dengan nya?sedih? Bukan kah kau mencintai nya?”tanya mu yang belum puas dengan senyum ku. Aku masih tersenyum, kali ini lebih sumringah sambil tertawa kecil “hihihi…”

Melihat wajah mu yang keheranan membuat aku menjadi kasihan dan memutus kan untuk menjelaskannya. “Begini teman” ujar ku lembut, “ini adalah model ujian yang pernah Dia berikan kepada ku, hanya bentuk nya saja yang berubah. Dan aku ingat kalo waktu itu aku sukses menghadapi nya menurut ku”.

“jadi sekarang saat Ia memberi ujian ini kepada ku, tadi aku mengatakan kepada Nya "ini siy sudah pernah Tuhan…tentang kesabaran kan? Ketenangan kan?" Dan aku lihat Ia tersenyum sambil mengangguk kepada ku dari atas Arsy Nya. makanya aku juga senyum dan tertawa”. Kututup omongan ku dengan tersenyum lagi kepada mu. Kali ini kau tak berkomentar lagi. Kulihat kening mu berkerut dan sepertinya sedang berfikir. Aku rasa kau sedang mencerna ucapan ku barusan.

Ahh teman…seandainya kau tahu apa yang ada dipikiran ku. Tapi aku begitu susah untuk mengungkapkan nya kepada mu. Aku yakin kami dapat melewati ujian ini dengan baik bersama-sama. Bila Kau Sang Satu memberikan kami kesempatan untuk bersama lagi. Tak ada yang sia-sia apa yang Kau ciptakan. Kau berikan ujian ini tentu Kau tahu apa yang baik bagi kami.

Dan aku selalu berbaik sangka atas apa-apa yang Kau berikan kepada ku wahai Kau Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Yang karena keterbatasan ku, aku tak bisa melihat apa yang ada di depan ku. Yang ku pegang hanya kata-kata Mu…janji Mu…ah seperti syair lagu saja pikir ku. Tapi syair Mu selalu terngiang indah di telinga ku.

“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi mu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS: al-Baqarah; 216)Ku serap segala pelajaran yang terkandung dalam setiap kejadian yang terjadi padaku dan sekitar ku. Ku coba memperbaiki diri ini terus, terus, dan terus. Cukuplah Engkau bagi ku.

Nah teman, apakah kau akan tetap sedih saat cobaan Nya menghampiri mu? Atau kau akan tertawa sama seperti aku? Tidak kah kau lihat betapa Ia mencintai mu? Dan Ia ingin kau selalu berada dalam kebaikan. Teman…Apapun reaksi mu, ketahuilah bahwa Ia sungguh mencintai Mu.

Dan aku juga mencintai mu...