Sunday, August 12, 2007

salamatahari

Hik.. hiks..
Belakangan ini, blog tercinta kena sindrom reseh dan ribet total, padahal tulis menulis 'dah menjadi menu harian. Gimana ya..? Eh, baru inget bukannya aku juga ada account di WP. Hi..hi... padahal sebelum jadi pecinta blog, WP 'dah akrab duluan. Beginilah akhirnya. Kaki kanan di blog dan kaki kiri nongkrong di WP.
So, jangan kapok datang di Goresan Jiwa, dan jangan lupa mampir ke SALAMATAHARI

Sunday, August 5, 2007

Kembali Aku

Kembali aku memikirkanmu. Dan kini pikiran-pikiran akan dirimu, berkelebat bagaikan petir di gemuruhnya hujan pagi ini. Menyapamu dan kembali kau palingkan wajahmu

Keterasingan adalah aku dan kau selalu berada dalam gemuruh serta gegap gempita suara yang memujamu. Bila kita dipersatukan maka itu adalah hanya ilusi yang coba kubangun, kucoba merasakan tanpa tahu artinya. Terkadang cahaya bulan sudah membuat aku merasa itulah cahaya keabadian, sampai nanti datangnya sang fajar dengan matahari membawa cahaya yang lebih terang. Lalu aku terhenyak di ketiadaan. Coba bertahan, malah membuat aku semakin bimbang.

Obrolan-obrolan kita menjadi hambar dan tak memiliki cita rasa lagi sejak aku mulai kembali dengan keegoisanku dalam mengartikanmu. Sehingga kau mengatakan kepadaku bahwa kau tak lagi bisa memahami bahasa-bahasaku. Walau menurutku kau salah saat mengatakan itu. Akulah yang tidak memahami bahasamu. Tuhkan, aku kembali menjadi si egois yang memaksamu dan menafsirkanmu sesuai seleraku.

Kau katakan aku si benar dan salah adalah bagian utuh dari dirimu. Aku hanya terdiam. Karena aku telah menafsirkanmu dengan segala keegoisanku, tanpa belajar untuk melihatmu secara utuh.

Aku ingin bertanya padamu saat ini. Apakah bisakah kita kembali berjalan dilorong sempit itu dikost-an yang kumuh sambil bergandengan tangan, atau menyanyi penuh semangat bersama pengamen itu, atau sekedar jalan sejajar dengan ibu separuh baya itu, atau bahkan melewati jalan pegunungan Lawu dalam kesunyian yang magis? Tapi bibirku seakan kaku dihadapanmu.

Kembali aku tidak bisa memaknaimu. Usaha apalagi yang kurang agar kebersamaan kita tetap utuh? Sergahmu suatu kali dimalam saat bintangpun enggan menemaniku. Tanpa kusadari, aku mulai mengganti baju-baju yang dahulu satu persatu kau lepaskan dari diriku dengan kain-kain yang kini membalutku lebih erat kepada kebodohan.

Lambat laun keterasingan itu mejadi akrab denganku. Karena keterasingan itu adalah aku. Gemuruh angin membawaku bersamamu. Kini angin itu pula yang telah menghentikan langkahku mengikuti jejakmu. Hujan itu selalu datang bersamamu, sama seperti datangnya pelangi sesudahnya.

Memanggilmu, membacamu, berbincang, bercinta atau sekedar menyapamu seperti tugas rutin bagiku. Dengan segala keterbatasan ruang dan waktu. Ah, kau masih saja begitu. Selalu mengambil tempat disudut kamarku dan memandangiku yang rindu padamu.

Namun kini aku begitu malu padamu. Sehingga tanganku tak berani menarikmu lebih dekat lagi padaku. Mungkin nanti saat aku telah mampu melepaskan kain-kain yang telah memasungku, aku akan kembali menemui lagi. Atau boleh aku berharap lagi padamu agar membantuku melepaskan semua itu lagi? Walau kutahu kau akan menjumpaiku dengan rasa yang sudah berbeda. Tapi kau tahu bahwa aku masih sama terhadapmu. Masih merindukan perjumpaan dan segalanya bersamamu.

Kulihat hujan yang membawa petir itu telah mereda. Meninggalkan sisa-sisa patahan ranting pohon dan kubangan air dijalanan. Walau rintik air masih membasahi diriku tetap kuberjalan mencarimu dalam kegalauan menanyakan pada diriku akankah aku menemukanmu. Kembali ingin aku menatap pelangi itu bersamamu.

Saturday, August 4, 2007

Perjumpaanku

dia adalah sesuatu yang tak terdefiniskan

Untuk mencarimu, bersama angin aku pergi ketimur. Sambil diam-diam kukejar terbitnya matahari. Sementara waktu dan aku beringsut menjemputmu, debar-debar aneh menggila dan melesak pada dalamnya dan pelan menyentuh dasar telagamu.

Aku tetap beranjak ketimur. Semakin ketimur semakin beragam kutemui wajahmu. Ya benar, aku menemukan wajahmu dalam pepohonan yang kamu, gerbong kereta yang kamu, pengamen yang kamu, ibu setengah baya yang kamu, semuanya adalah kamu. Dunia dan segala isinya tidak ada yang lain kecuali kamu. Inikah yang dikatakan kau maujud dalam segalanya. Kaulah segalanya Ta.

Ta, begitu aku selalu memanggilmu. Ta yang berati Cinta. Karena kupikir hanya itu yang kutahu tentangmu. Kaulah Cinta segala dan dengan segala Cinta

Kau ingat waktu itu Ta? Ketika dalam gigil ngeri kubisikan takbir untukmu, waktu itu seluruh semesta menyahut dengan rasa yang sama. Ribuan, ratusan bahkan jutaan takbir diserukan dengan cara dan bahasanya masing-masing. Mereka memujamu Ta. Ya, hanya memujamu. Burung yang pulang kesarang, air yang mengalir, gemulai ombak, banjir bahkan sampai gempa adalah takbir untukmu Ta. "Peganglah dadaku sayang, rasakan deburnya" bisikmu terbawa angin.

Kusambut tanganmu dan kupegang, kusentuhkan lekat di hati.

Ah, waktu berhenti seketika itu, dan betapa dahsyat rasanya aku tenggelam di dalammu. Kau hanya memandangku lekat. Dan diam. Jalanan lenyap dengan riuhnya. Pohon, bunga, patung, ribuan gedung dan nyala api termangu lalu kembali berebut bertasbih untukmu.

Aku mungkin mendahuluimu ditanah lapang itu, tetapi selebihnya kaupun mengerti. Kaulah mata air itu. Walau bila jujur, sebenarnya aku dibingungkan oleh antara mencintaimu, mencintai apa yang dicintaimu, mencintaimu dan kepadamu atau cinta bersamamu? Entahlah, cintaku adalah seluruh diri yang kuserahkan untukmu hingga tak ada lagi bisa disisakan.

Siapa yang kau cintai? Ah, kenapa kau ajukan pertanyaan itu lagi Ta? Tentu kau Ta, dan hanya kau. Bukan saja pertanyaan itu tidak adil. Tetapi apakah kau lupa atau sekedar menegaskan keraguanku? Mungkin aku tak memahami al-Hallaj ketika dia mengatakan kau ada dalam jubahnya. Tetapi aku yakin mereka berkata benar tentangmu.

Ketika aku memandangmu dari disudut ini. Semua nyala api dan panasnya bertekuk dilututmu dalam cinta. Bersama pijar matahari, kau menyelaku dengan pertanyaan-pertanyaan itu. "Kemana perginya matahari kala senja, atau sebenarnya dia tak ternah pergi?" Aku terhenyak, ya karena selalu dengan pertanyaan itulah kau mengusikku. Ta, bukankah kau tahu caraku mencintaimu adalah dengan cinta itu sendiri.

Ta, kau memang tak pernah memintaku. Tetapi ijinkan aku selalu bersujud dengan cinta di bawah tahtamu. Hanya itu Ta bahasa yang kutahu untuk memahamimu. Pagi, siang dan malam aku hanya ingin menjemputmu kemudian melelehkan diriku dalammu. Menghirupkannya di nafas dan menciumnya lekat semampu yang kubisa. Ah, selalu kau telah menunggu, sambil menghitung satu persatu keringat yang menetes dari keningku, ah dan kau selalu mengusapnya untukku. Ada saatnya aku ingin menjadikanmu patung dan kugenggam erat sambil meletakkannya disudut ruang itu.

Ta, aku mencintaimu dalam perjumpaan pertama itu.

(Sebenarnya ribuan waktu telah aku siapkan untuk saat ini, ciuman di kening, lilin, Jogja sampai Lawu. Selain itu, tak lupa kukemaskan sebait takbir dan sepotong lagu Internasionale)