Saturday, September 22, 2007

Satu menjadi Dua or Dua menjadi Satu

Setiap pertemuan merujuk akan adanya perpisahan. Sama akan halnya setiap kehidupan merujuk akan adanya kematian. Selalu ada dua sisi yang saling bertolak belakang namun selalu berdampingan.

Aku dan dia mungkin saling bertolak belakang, namun tetap berdampingan. Setidaknya terus berusaha untuk berdampingan. Dia pernah mengatakan kami bagai satu di bagi menjadi dua atau dua digabungkan menjadi satu. Tak tahu yang mana yang benar namun rasa itu terasa kuat. Rasa kuat untuk saling mengisi, berbagi dan memahami, menjadikan dua itu satu atau satu itu menjadi dua.

Ta, dalam hening malam ini ditemani suara puja-puji itu aku ingin bertanya padamu, bertanya hal yang sering aku ulang hanya untuk memenuhi rasa sesak didada ini. Pertanyaan sama "Masih adakah waktuku dengan nya?". Kau masih dengan senyummu. ah, masa aku bertanya untuk hal remeh begitu denganmu. Sedang urusanmu begitu banyak. Seperti biasa semua kembali kau serahkan kepadaku untuk menjawabnya. Menjawab pertanyaan yang seharusnya memang aku yang menjawabnya. Menjawab bukan dengan just a word, tapi tindakan nyata.

Jejaknya tak mungkin terhapus. Aku malah bisa mengurutkan jejaknya awal sampai akhir. Berawal dari tempatku berdiri lalu terbang keangkasa bersama burung besi raksasa, melewati jalan besi tak ujung, menaiki kotak bermesin, dan berjalan sampai penggik di lawu sana. hihihi...kau ingat semua itukan?

Mencoba untuk berseberangan sudah kita lakukan, apa lagi untuk tidak saling berseberangan. Namun bensin itu hanya menunggu percikan api dan terbakarlah. Lelah? Mungkin itu sudah sering terdengar. Bahkan Ta pun sering kecewa mendengarnya. Melihat sedih ke arah kita, namun kembali dengan senyuman pemberi semangatnya. Ya, semangat sama-sama untuk beritikad baik. bahwa kita adalah Satu menjadi Dua or ...

Sepaket puja-puji dan sepotong doa kusorong dihadapanmu. Berharap pertemuan nanti aku dalam keadaan tidak melow seperti ini lagi...C U Ta, Wasalam...


Saturday, September 15, 2007

Lapar dan Puasa

Puasa tahun ini berasa biasa-biasa saja. Tidak ada yang berubah. Kecuali dirumahku berkurang lagi seorang anggota keluargaku. Adikku tersayang kini sedang menuntut ilmu di kota hujan di pulau Jawa sana. Dan jadwal perkuliahan membuat dia tidak bisa berkumpul bersama kami di Ramadhan tahun ini.

Kota Banda Aceh juga terlihat biasa-biasa saja. Masih seperti tahun-tahun kemarin dalam menyambut puasa. Ritual jalan subuh masih tetap ada. Berjalan-jalan sambil menunggu waktu berbuka juga masih ada. Yang asyiknya kalau jalan-jalan sore itu, sepanjang jalan ada saja yang berjualan makanan buat berbuka. Meriahlah. Dan ritual tarawih dan tadarusan juga masih ada.

Tapi yang apa yang berbeda ya? Rasanya tidak ada yang berbeda. Itu bila Ramadhan tahun lalu di bandingkan dengan Ramadhan tahun ini. Apa lagi bagi si amat. Eh, aku belum cerita ya tentang si amat?

Amat, begitu teman-temannya memanggilnya. Nama Amat di daerahku adalah lumrah. Dan biasanya Amat adalah panggilan untuk anak laki-laki di desa. Amat punya nama asli Muhammad Iqbal dan biasa dipanggil oleh mamaknya Amat. Entah kenapa orang tuanya menamanya Muhammad Iqbal, apa karena orang tuanya sangat mengidolakan Muhammad Iqbal yang seorang sastrawan dan pemikir islam asal Pakistan itu. Tapi sepertinya tidak, karena saat kutanya pada mamak Amat tentang Muhammad Iqbal yang satrawan itu dia tidak mengenalinya. "So nyan? hana turi lon" begitu jawabnya suatu hari padaku, tentu dengan bahasa Aceh yang kental yang kalau diartikan dalam bahasa indonesia kira-kira seperti ini "siapa tuh, nggak kenal saya".

Orang di daerahku banyak menggunakan nama Muhammad untuk anak lak-laki. Lalu di akhir namanya di berikan nama yang berbeda saja. Seperti abang dan adik laki-lakiku pun sama. Nama awalan mereka Muhammad. Tentunya orang tua-orang tua yang memberi nama Muhammad itu ingin anak-anaknya memiliki sifat seperti Nabi Muhammad.

Pertemuanku dengan Amat disuatu siang adalah ketidak sengajaan. Saat itu aku yang sengaja datang kelapangan kota untuk melihat perlombaan panjat pinang yang diselenggaran dalam rangka memeriahkan HUT RI ke-62. Aku melihatnya bersama teman-teman sekerjanya. Ya, Amat sudah bekerja kalau ini disebut pekerjaan. Bekerja sebagai pemungut botol-botol plastik dan besi bekas. Pekerjaan yang dia lakoni semenjak ayahnya meninggal sewaktu Aceh masih berstatus Daerah "merah" Operasi Militer. Saat melihatku dia hanya melemparkan senyum dan kembali sibuk dengan teman-temannya. Rupanya dia dan teman-temannya menjadi salah satu kelompok yang ikut dalam lomba panjat pinang tersebut. Aku memutuskan melihat dari jauh saja.

“Kak, mau hadiah apa?” ujarnya sambil berjalan ke arahku. Tentu dengan rupa yang tidak karuan dengan baju dan wajah dipenuhi lemak hitam. Tadi aku lihat kelompok Amat berhasil menggambil hadiah yang disediakan diujung pohon pinang tersebut.

“Nggak usah, untuk kamu saja” jawabku sambil menyodorkan air mineral yang kubawa dari rumah. Dia menolaknya sambil tersenyum dan langsung mengeluarkan air mineralnya sendiri. Ah, selalu saja kuingat bagaimana caranya berhemat dan itu tertular juga padaku.

“Hek that lon kak, ngon lon hana nyang rayeuk. Mandum lage lon” Kadang Amat berbicara dalam bahasa Aceh juga denganku. Tapi tahu aku kurang bisa menjawab dalam bahasa Aceh, biasanya dia akan kembali menggunakan bahasa Indonesia. Aku mengerti apa yanga dikatakannya, namun untuk menjawab dalam bahasa yang sama lidahku belum terbiasa. Aku hanya senyum mendengar keluhannya,. Tentu saja pikirku, bagaimana bisa anak-anak seperti Amat dan kawan-kawannya memiliki badan yang besar. Makan saja seadanya. 4 sehat 5 sempurna? Wah, kalau ada kenduri anak yatim, walimah atau kenduri Isra’ Mi’raj saja barulah ada “perbaikan gizi” bagi Amat dan kawan-kawannya. Itu sedikit kisahku bersama Amat.

Bila ditanya tentang bagaimana puasa, maka lain halnya dengan Amat. Bagi Amat Ramadhan atau tidak Ramadhan sama saja. Sama-sama harus menahan lapar. Berpuasa diluar bulan Ramadhan adalah biasa. Bahkan tanpa pernah tahu kapan bisa berbuka. Karena berbuka bagi Amat dan keluarganya adalah saat ada makanan, bukan saat yang ditentukan waktunya seperti puasanya kita. Yaitu menahan lapar mulai saat imsak sampai maghrib tiba. Bahkan terkadang tanpa sahur sama sekali.

Kemarin Amat menegurku halus sekali. Di hari puasa pertama saat aku melihatnya sedang memikul keranjang bambu berisi botol-botol plastik. Dan dia masih bisa tersenyum. Sedang aku duduk dengan lemah dan wajah tanpa gairah. Ah, lapar sudah menjadi temannya walau dia tidak menyukainya. Sebagian orang telah memperkosa makna lapar selama ini. Lapar bagi mereka adalah diet, malas makan, atau tidak sempat makan. Sedang baginya lapar adalah lapar, tidak memiliki makanan untuk dimakan.

Amat sudah tidak bersekolah lagi. "dulu saya bersekolah kak, hanya sampai kelas enam SD, itupun dibiayai oleh nenek dari uang pensiun kakek yang bekerja sebagai petugas kelurahan". Sejak Amat menjadi yatim, mamaknya sangat kerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. jangankan untuk sekolah, untuk makan saja pas-pasan. Maka nenek Amatlah yang kemudian membiayai sekolah Amat. Tapi ternyata kesempatan tidak berpihak kepada si miskin. Saat akhir menamatkan sekolah dasarnya nenek amat meninggal dunia. Amatpun berhenti hanya sampai SD saja, tentu dengan bersusah payah menamatkannya. Melanjutkan sekolah ke SMP mustahil, selain tidak ada biaya, amat harus bekerja demi kelangsungan hidup mamak dan adik-adiknya.

Bagi Amat hidup diserahkan pada nasib dan peruntungan, tapi bukannya tanpa harapan dan usaha. Usaha yang sangat keras malah, orang bilang membanting tulang, dan dengan harapan yang sangat sederhana dan dekat-dekat saja: sekedar menyambung hidup. Itulah alam pikiran orang kecil. Bisa bernafas dari pagi ke pagi, dari petang ke petang.

Memang Amat miskin tapi bukannya berarti tidak berpunya. Dia masih memiliki tenaga yang laku terjual. Amat mencari botol-botol plastik bekas, serta apa saja yang bisa dijual. Bila beruntung Amat bisa membawa pulang duit yang bisa dibelanjakan oleh mamaknya dan ada sisa buat jajan kedua adiknya. Tapi bila lagi sepi hanya cukup buat makan saja.

Ramadhan tahun ini aku banyak belajar darimu tentang puasa dan lapar. Tentang perih dan pedihnya. Dan semua itu nyata, tidak dapat hilang hanya dengan kata-kata sabar.

Buat semuanya "Selamat Menikmati Puasanya... "