Wednesday, December 5, 2007

Bu Sarmi

“Adauwww…hiks…”

“Pelan-pelan bu, sakit banget soalnya”

Sambil menahan nafas dan mencoba tidak berisik, aku coba menikmati setiap pijatan Bu Sarmi di bagian betis dan seluruh tubuhku. Ibu Sarmi itu tukang cuci di kosan adik sepupuku merangkap tukang pijit anak-anak kosan di jalan Menukan gang Kepiting Jogya ini. Pokoknya wanita satu ini serba bisalah, alias bisa di suruh apa aja.

“Saya di suruh apa saja mau kok dik, lumayanlah buat nambah-nambah uang belanja” begitu pengakuannya.

“Dibagian kaki keras semua dik, abis dari mana?” Aku cuma bisa nyengir kuda dan langsung saja adik sepupuku nyerocos tanpa diminta “sok siy, nggak pernah jalan jauh malah naik gunung”ujuarnya cemberut sambil keluar kamar.

Aku cuma tersenyum saja. Dia tidak tahu kalau setelah itu aku dan pemanduku yang norak melanjutkan jalan lagi ke Grojogan Sewu di Tawang Mangu. Dan sebelnya pemanduku itu sok tahunya selangit. Dengar saja apa katanya saat perjalanan kesana. “Air terjun di Jawa itu cantik-cantik, gak seperti di Aceh.” “Emang seperti apa siy Grojogan Sewu itu?”tanyaku tidak mau kalah. “Ya yang pasti sewu” ucapnya asbun. Sial pikirku si jelek ini soknya kebangetan dan aku cuma diam saja mendengar jawabannya itu. Lebih baik diam kupikir karena aku tidak menguasai medan. Sambil merengut akupun terus berjalan mengikutinya. Saat membayar retribusi memasuki kawasan Grojogan Sewu aku mulai curiga, kok air terjunnya tidak kelihatan dan pemanduku itu juga terlihat bingung. “Kamu tahu gak siy Grojogan Sewu itu dimana?” dia hanya nyengir dan aku sudah tahu artinya. Kalau tadi itu cuma sok-sok-an dia aja. Dan duh, bikin gondok. Masalahnya kaki masih sakit di bawa turun Lawu, dan untuk menemukan air terjun itu, harus menuruni anak tangga yang sewu juga kali jumlahnya. Dan…

“Anjriiiiiiiiitttttttt….”

“Oh ini yang sewu ya?” ujarku dengan mata membelalak, alis terangkat dan sambil bibir di stel sedemikian rupa.

Ternyata hanya air terjun biasa, bukan maksudku merendahkan tapi ini semua gara-gara pemandu norak itu. Sok tahunya itu. Dan dia cuma tersenyum malu saja sepanjang jalan. Dia mungkin berharap sewu yang mendampingi kata grojogan itu mewakili kenyataannya. Tapi aku gak tahu kenapa tempat yang cukup asri dan cantik itu dinamakan dengan grojogan sewu. Karena air terjunnya hanya satu yang jatuh cantik ke bumi itu. Dan selebihnya hanya air yang mengalir begitu saja dipinggir bukit. Mungkin banyaknya anak tangga di sana yang sewu, aku nggak tahu. Yang pasti kata-kata sewu itu sudah menipuku dan pemandu norak itu. Dan aku harus berjuang keras untuk kembali menapaki satu persatu anak tangga sewu untuk naik keatas lagi. Hiks…

Kembali ke Bu Sarmi. Bu Sarmi ini cukup ramah seperti kebanyakan orang jawa lainnya, dan terbuka bila di tanya apapun. Bahkan tanpa ditanyapun dia akan bercerita panjang lebar. Mungkin untuk sedikit mengurangi beban dalam hidupnya. Dengan suami dan dua orang anak laki-laki yang semuanya tidak bekerja alias pengangguran serta seorang putri yang katanya sudah menikah untung bukan dengan lelaki jawa yang Jogya. Maka beban bu Sarmi bertambah-tambah dengan keadaan itu. Semenjak menikah sampai sekarang bercucu dua, Bu Sarmi-lah yang menafkahi keluarganya. Jenuh, ingin berontak tapi lagi-lagi kewanitaan jawanya membuat dia mengurungkan niat itu.

“Mau cerai sudah ada anak, malu sama orang-orang” ujarnya sambil terus memijat bagian kakiku. “Dasar, orang jogya itu lelakinya pemalas-pemalas dik” dan itu dia katakan sambil memijat keras bagian betisku yang sakitnya minta ampun dan aku cuma diam. Bukan diam tepatnya tapi menahan jeritan dengan menggigit bantal yang menopang kepalaku dengan tubuh terlungkup. Hi, dia mijit kok dendam begitu siy? Jadi geli bercampur sakit.

Lalu pijitannya mulai melemah dan sebaris kalimat pasrah keluar dari mulutnya yang sangat kuingat betul “Saya serahkan semua sama Allah saja dik, biar dia yang membalasnya”. Ya beginilah pikiran orang-orang seperti Bu Sarmi sangat sederhana dan begitu nerimo. Dan entah kenapa, lagi-lagi si Mbah itu bisa menenangkan segala gemuruh, rasa sakit, pahitnya kehidupan ini.

Sosok wanita jawa yang sering aku lihat semua terwujud pada Bu Sarmi. Wanita Jawa, ya wanita Jawa.

“Udah enakkan dik?” tanyanya sambil terus memijit.

“Udah bu”

“Nanti dioles parem aja biar lebih enakan” ujarnya

Dan itulah saat pertama dan terakhir aku bertemu dengannya. Karena setelah itu aku kembali melanjutkan perjalanan menuju Jakarta sambil menumpang KA Progo.