Tuesday, March 18, 2008

Up date, Pajak, Rokok, dan Kesehatan

Setelah beberapa teman mengusulkan untuk meng-up date tulisan di blog saya ini. Maka saya memberanikan diri untuk menulis lagi. Sebenarnya saya bukannya malas. Tapi selama ini saya memang sangat sulit untuk menulis. Selalu putus di tengah. Dan berakhir menjadi draf saja di arsip saya. Belum hutang yang menumpuk di bawah meja saya. Ya, hutang untuk membaca buku-buku yang sudah saya beli atau pinjam. Di tambah sekarang saya berusaha disiplin dengan jam kantor. Hehehe, maklum selama ini saya termasuk pegawai yang suka-suka saja kalau masuk kantor. Tetapi setelah bertambah ketatnya pengawasan dari kantor membuat saya harus mendisiplinkan diri saya. Terutama dalam hal kehadiran. Saya berdisiplin juga dikarenakan kesadaran bahwa selama ini saya dibiayai oleh rakyat.

Ya, dari pajak merekalah keringat saya di bayar. Paling tidak saya harus menghargai orang-orang yang sudah meneken kontrak mati dengan perusahaan-perusahaan rokok. Terhitung pada tahun 2006 penerimaan negara dari cukai dan pajak rokok yang merupakan single commodity mencapai Rp 52 triliun. Sebuah angka yang fantastis dibandingkan dengan anggaran kesehatan yang hanya berjumlah 13,6 triliun rupiah atau hanya 6,7% dari APBN 2006. Ternyata negara setelah mempermudah rakyatnya sakit, tidak dapat membuat hal serupa agar rakyatnya sehat kembali.

Belum lagi ada pengurangan Anggaran untuk kesehatan orang miskin pada tahun 2008 berjumlah kurang lebih 2,8 triliun rupiah, berkurang dibanding tahun 2007 yang mencapai 3 triliun lebih. Benar kalau ada ungkapan "kalau miskin jangan sakit". Bagaiamana tidak, baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara jujur mengakui bahwa jumah penduduk miskin di Indonesia masih tinggi, yaitu 16,58 persen atau sekitar 37,17 juta dari total 220 juta penduduk Indonesia. Jika diasumsikan dibagi rata kepada seluruh jumlah penduduk miskin sebanyak 37,17 juta berarti setiap orang hanya kebagian seharga kurang lebih Rp 75.300 per tahun atau sekitar Rp 6.300 per bulan. Bayangkan, kira-kira obat apa yang bisa dibeli dengan harga Rp 6. 300, dan untuk menyembuhkan penyakit apa?

Hal ini mau tidak mau akan berdampak kepada pengurangan jumlah pengadaan untuk obat-obatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Jadi jangan heran bila nantinya saat berobat ke puskesmas menjadi kecewa. Setelah mengantri harus kecewa karena obat yang diresepkan tidak tersedia. Dan eits, jangan marah. Orang miskin di larang marah, apa lagi protes. Tapi bagi yang sudah mendedikasikan diri dengan meneken kontrak mati dengan perusahaan rokok sebaiknya di pikir-pikir lagi. Apa pengorbanan kamu -dengan memberikan paru-parumu untuk diracuni oleh nikotin- sebanding dengan pengorbanan pemerintah untuk menyehatkan rakyatnya?

"Negara atas nama pembangunan mempermudah rakyatnya sakit dan atas nama pembangunan juga mempersulit ketika rakyatnya ingin sembuh"