Tuesday, April 10, 2007

Sang Pemberi (Hadiah Embun untuk Matahari)

Malam baru beranjak separuh, sisa yang separuh masih memanjang dan menjadi pemuja kegelapan. Aku sedang terduduk mendekap dingin, ketika tiba-tiba kau bertanya, "Kita ini siapa, apa yang sedang kita lakukan?" aku jelas tergeragap, bukan karena tanpa ujung pangkal kamu nyelonong menggugat, tetapi lebih karena, kau bertanya sambil menciumku lembut. Debur aneh dengan warna-warni menyergap memiaskan wajahku.
Untungnya sadarku masih dominan karena bayangan Kebangkitannya Tolstoi langsung melintas. Ya, bangsawan itu dengan kelugasan-nya menggambar jelas seolah menjawab pertanyaanmu, "Di dalam diri Nekhlyudov, seperti halnya didalam semua orang, terdapat dua macam manusia. Yang pertama adalah manusia rohani yang mencari kebaikan bagi dirinya, kebaikan yang kiranya dapat menjadi kebaikan juga bagi orang lain; sedangkan yang kedua adalah manusia binatang yang mencari kebaikan hanya demi dirinya sendiri, dan demi kebaikan itu ia mau mengorbankan kebaikan yang seharusnya untuk seluruh dunia,"
Manusia menjadi sangat sederhana bagi Tolstoi, tetapi justru itulah intinya. Manusia dipahami sebagai manusia itu sendiri, manusia yang dilepaskan dari segala atribut-atribut yang membebani, manusia dipahami bukan hanya sebagai pengambil saja tetapi sekaligus di potret sebagai sang pemberi yang tiada putusnya.
"Tetapi bagaimana aku memilih menjadi yang mana?" kamu mendesakku. Pertanyaan ini jelas merepotkanku, bahkan aku tahu, karena kamu memang selalu bersetubuh dengan ketakutan maka ketakutan-ketakutan itulah yang kemudian menjadi utama.
"Pertanyaannya justru bukan itu, karena mestinya yang kamu tanyakan adalah untuk siapa kemanusianmu itu?"
"Ketika kamu memilih menjadi pusat, maka jelas kau menempatkan "dirimu" dalam segalanya dan sisanya menjadi tidak penting. Lain halnya jika kamu memilih untuk bergabung dalam ketiadaan, kamu akan menjadi ada dengan apapun yang kau mauinya."
"Kembali setelah keluar dari diri sendiri adalah gerakan maha sulit, apalagi dengan pengenalan kita yang menganggap justru kitalah sang dunia itu. Dan yang paling susah adalah menghidupkan kembali apa yang telah di bunuh oleh dunia melalui dekadensi dan keterasingannya. Ini bukanlah kerja-kerja yang dapat diselesaikan sambil lalu saja."
"Tetapi bagaimana kita melakukannya?" sergahmu cepat. "Bukankah, dunia, peradaban, budaya dan manusia itu sendirilah yang harus menjadi tempat mulai, karena pada akhirnya dia akan menemukan "dirinya" pada dunianya sendiri. Suatu wujud yang hidup haruslah dibangkitkan dalam setiap benak kita. Harus ada yang mau berdiri sebagai saksi dan mengatakannya. Karena setiap tindakan apapun yang dilakukan, mau tidak mau akan membuat kita berhadapan dengan takdir, sejarah, masa depan dan keesokannya dipertaruhkan. Lalu mestikah kita menyerah pada pencapaian ini?"
Diluar langit masih berbintang, sama dengan hampir tiga bulan belakangan ini. Kadang terang benderang penuh bintang, tetapi kadang hanya satu, dua atau tiga. Tak penting, toh artinya tetap sama, masih berbintang dan seperti biasa terlihat rakus menelan puji-pujian.
"Nah, cobalah lakukan sendiri," ujarmu berbisik dari belakang punggungku.
"Dihadapan dunia, kita mestinya bukan hanya berhenti menjadi saksi, selain perenung yang telah mengorbankan aksesori dan diseru untuk menetap, bukankah kita juga harus bergerak? Menuju menara dan dinding-dinding benteng yang lapuk dan berinisiatif membangunnya kembali," kamu menderukan kata-katamu merangsek kedalam pendengaranku lalu melesat kedalamnya dan bersemayam dalam benak diam-diam.
Seperti masih belum cukup, deruanmu kembali terdengar, "hanya dengan menjadi penyaksi kita telah menghasilkan anak-anak yang sakit, anak-anak yang kelaparan dan rusak. Ketidakpedulian, kesemena-menaan, penganiayaan, dekaden, hasrat menginjak-injak orang, bukankah itu berarti menginjak-injak hak dan mencampakan semua nilai kedalam kubangan lumpur?"
Ah, gugatanmu mengingatkan pada sosok Iqbal, mistikus agung itu tegas merumuskan. Aku baca dan sekaligus aku kutipkan untuk menjawabmu, "Satu-satunya tenaga ampuh yang akan melawan sebab-sebab kemerosotan dalam suatu bangsa, ialah dengan membentuk individu-individu yang berkepribadian. Individu-individu yang demikian itu sudah dapat menyatakan arti hidup yang sesungguhnya. Mereka membukakan cara-cara baru yang akan membuat kita mulai melihat, bahwa lingkungan kita bukan sesuatu yang suci dan tak dapat di ganggu-gugat, melainkan masih perlu diperbaiki."
Kulihat kamu terhenyak bingung, mungkin karena aku tiba-tiba saja mengutip Iqbal, bukan Rumi atau Rabi'ah seperti selama ini. Matamu membesar dan aku melihat kerjap yang indah disudutnya.
"Wah-wah, kamu kok menjadi semakin cantik siy..?" ucapmu lebih mirip sebuah godaan dari pada pujian yang tulus.
Selalu kamu begitu, tiba-tiba berbelok di tikungan terakhir atau menginjak rem kuat-kuat menjelang finish. Tolstoi menguap, Iqbal menguap apalagi Rumi dan Rabi'ah, sebagai gantinya warna-warna pelangi merunyak menjadi dominan. Aku mengeluh diam-diam, menengadah langit memandang bintang dan berusaha mencari pegangan.
"Sudah ahh...sudah.." aku masih tergeragap. Ada senyum diam-diam di ujung bibirmu, ah.. itu pasti karena pipiku yang tiba-tiba merona merah.
Untunglah, seperti paham betul ketergagapanku kau melanjutkan dengan Iqbal juga, bahkan kali ini kau kutipkan puisi indahnya.
"Di pintu, jiwaku berdarah dalam memohon pertolongan tidak berarti bagimu. Pada akhirnya ia menawarkan engkau semua semangat dan duka laranya. Seuntai sungai tercurah turun dari langit biru. Airnya tersuling melalui hatiku yang terbakar. Dan saya mengarahkan alirannya melalui lubang yang lebih tipis ketimbang anak sungai. Untuk membuatnya tetap mengalir dan air dari kebun buahmu."
"Ya, Iqbal meminta kita untuk kembali menyadari wahyu itu dan menangkap kembali kemuliaan-kemuliaan yang telah lama terlepas dari tangan kita"
"Mari kita temukan dan mulailah mencarinya dari dalam"
Ya, tiba-tiba aku menangkap pesannya. Pesan universal yang berkumandang dari Hijaz sejak belasan abad yang silam.
"Ya kamu betul, pencarian harus dimulai dari dalam," ucapmu, kali ini terdengar lebih tulus. Didalam hatiku pelan-pelan rasa hangat bersemayam, terasa damai dan menyejukan. Kugenggam tanganmu dan kubimbing dirimu melangkah menuju cahaya.