Tuesday, May 29, 2007

Badai

Pagi itu mendung mengantung tebal dilangit. Semakin lama semakin tebal dan menutupi setiap permukaan langit yang biru. Ada apa gerangan pikirku? Mungkin akan hujan jawabku menenangkan diri. Karena sudah beberapa lama panas terus mengeringkan tanah ini.

Namun tak kulihat akan turunnya titik-titik air itu. Udarapun tidak berubah menjadi sejuk. Dan aku agak sedikit gerah dengan cuaca ini. Aku mulai takut…

Kudatangi tetanggaku. Sekedar mencari teman dalam kegelisahan ini. Setelah bertemu dengannya tahulah aku, bahwa awan yang tebal itu bukanlah pertanda akan turunnya hujan. Tetapi badai yang akan menerjang.

Aku mulai gemetar. Tak kudapati persiapan apapun dirumahku. Tidak seperti tetanggaku. Dia telah mempersiapkan diri untuk badai ini. Mulai dari penutup semua jendela, pintu, dan atap dengan kayu yang kuat dan kokoh.

Aku mulai panik. Aku berteriak-teriak. Ta…Ta…Taaaaaa…… tapi tak kudapati sedikitpun jawaban. Lalu aku berteriak lebih keras lagi. Taaaaaaaaaaa……….dan melemah saat tahu tak kudapati kau menjawabku. Dan panggilanku melemah Ta…Ta...Ta… kau dimana? Jawab aku Ta. Ucapan itu terbang bersamaan dengan airmata ini yang jatuh deras ke bumi.

Maafkan aku Ta. Kumohon kembali. Aku membutuhkanmu. Maafkan aku yang menyadarinya terlambat atau bahkan hanya saat aku merasa jatuh dan terpuruk dari dunia ini. Maafkan aku…kukatakan semua ini padamu sambil sujud merendahkan diri.

Ta. Kembalilah kepadaku. Ajari aku lagi. Bimbing aku. Jangan katakan kau muak padaku. Cukup…cukup mereka yang muak padaku, tapi jangan kau…jangan kau Ta

Kujemput kau agar dapat bersamaku lagi. Bersama datangnya badai yang membawa semua segala kepongahan, keserakan dan keegoisan diri ini. Masih terngiang ditelingaku bahwa setelah badai itu berlalu aku akan menemukan pelangi disana. Semoga.

Sunday, May 27, 2007

Ta..

Semalam aku menemuinya. Disebuah sudut ruang penuh debu, sendiri dan manyun. Tangannya memeluk lutut sementara nafasnya mengalir berat satu-satu.

Aku yang semula ingin sekedar menyapa jadi mengkeret. Kuurungkan niatku berakrab-akrab melihat mendung murung wajahnya. Malam mengalir pekat dengan suaranya yang pelan sunyi ini meresahkanku.

"Hai" sapaku memberanikan diri. Sepintas kulihat mukanya kusut dengan matanya yang merah-mungkin kurang tidur- menakutkanku. Sapaku tak di jawabnya, hanya tangannya mengambil sebuah kertas kusam dan robek di sana-sini, bertuliskan "DO NOT DISTURB" dengan huruf kapital besar-besar.

"Ah, kau bersedih lagi, kenapa?" Tanyaku terbiar menggema tak berjawab. Menggantung dilangit-langit dan pelan merayap membentur-bentur arasymu.

"Ini apa lagi Ta?" kulihat setitik air bening menetes dari sudut matamu. Mata yang tetap berkabut walau nyaris jutaan kali kucoba menghapusnya. Aku melihatnya.

Tapi mengapa matanya melihatku begitu ya? Mata itu biasanya menatap hangat dan lembut. Dia akan merangkulku dengan mesra dan berkata dengan sangat halus, walaupun saat itu dia sedang tidak mau diganggu. Biasanya dia hanya berkata "Maaf sayang, aku sedang sibuk. Andai keperluanmu begitu penting, kau bisa menulis pesanmu di kertas atau bila kau ingin menjumpaiku lagi, kau bisa sms atau miscall aku. Aku akan menjawab pesanmu" Sambil ditutup sebuah ciuman dikening dengan segala kasih sayangnya.

Apa yang terjadi denganmu Ta? Ah..aku masih juga mepertanyakan itu. Aku tidak akan menemukan jawabannya jika hanya terus bertanya pada diriku. Sementara tafsir tentangmu lebih sering di monopoli untuk seribu satu mau. Mereka mengikatmu disudut dan hanya indah untuk di persembahi segala puja-puji itu. Ya, mereka kenakan baju-baju sempit untuk memasungmu. Menyogokmu dengan doa, mantra, lalu memasangkan mahkota dengan nama-nama indah sementara ritual-ritual yang rigid menodai sucimu.

"Salah apa aku? Hingga kupikir ada yang pernah benar-benar tulus mencintaiku. Cinta mereka berpamrih sorga atau takut neraka. Bukan, bukan itu maksudku mencipta semua." Kau mengeluh dengan suara pelan.

"Bahkan kau tahu kan? Seringkali mereka meminjam namaku, untuk membunuh, memaksa, dan sementara mereka selalu lupa mengembalikannya padaku"

Ah, kau bersedih dan menangis untuk ini rupanya.

(Aku harus menemuinya lagi dan menanyakan apa yang terjadi terhadap dirinya. Biarlah. Aku juga sering begitu. Mungkin sedang banyak masalah saja. Mengurus semesta dan milyaran takdir pastilah merepotkan sekali. Hi..hi.. aku saja untuk mengurus diri ini sendiri saja tidak kelar-kelar, apa lagi dia.)

Ta, aku kangen sentuhmu...

Friday, May 25, 2007

SENTER

Sekian lama hidup tanpa cahaya dan larut dalam kegelapan pekat. Hari ini, entah malaikat mana yang berbisik, tiba-tiba aku ingin sekali bersujud dan berdoa padaMu.
"Tuhan berikan cahayamu dan tuntunlah jiwa yang lemah ini menuju jalanmu. Terangi kegelapanku dan tunjukankan padaku haq adalah haq dan bathil adalah bathil. Ya, Tuhan aku lelah dan berikan sinarmu..."
Sebuah suara terdengar menukas, "Aku Tuhan. Bukan senter, Goblok!" ujarnya ketus sambil berlalu.Duhh..


Hi...saat pertama sekali membaca posting ini aku langsung senyum-senyum sendiri. Ya, gimana nggak, masa siy Tuhan gitu. Tapi bener juga. Tuhan sering kita perlakukan seperti senter. Dinyalain saat merasa berada dalam kegelapan (ini biasanya kalau lagi susah dan merasa hidup luar biasa nelangsa) dan kita matikan saat merasa tidak berada dalam kegelapan lagi (ini biasanya lagi happy dan diliputi berbagai keberuntungan). Padahal Tuhan bukan senter. Karena Dia cahaya kita. Dia seharusya bukan jadi barang yang hanya dipakai sesaat saja. Disaat butuh dipakai, saat merasa tidak butuh, disimpan dan ditempatkan jauh disudut kehidupan kita bahkan kita sering mengambil pelita lain untuk menerangi kehidupan kita, yang sebenarnya pelita itu cuma bias, bukan cahaya. Bukankah KeberadaanNya seharusnya bagai pelita didalam jiwa, dekat dan menerangi langkah hidup kita.

Tapi bukankah Tuhan dapat berbeda-beda penafsirannya. Bahwa Tuhan orang yang menulis posting diatas ini seperti senter, sehingga Tuhannya pun menegurnya dengan cara itu (ini bukan mau mengkoreksi bentuk Tuhan tiap orang). Mungkin tuhan kamu seperti lilin, dimana kamu harus mencari korek api terlebih dahulu untuk menyalakannya. Atau ada orang yang Tuhannya seperti api, dan dia selalu terbakar didalamnya.

Sebagai seorang muslim, kuakui bahwa Allah yang kukenal, atau diperkenalkan kepadaku, bukanlah Allah yang cintaNya merupakan samudera tak bertepi, yang anugerahNya seperti langit tak berujung, yang amarahNya dikalahkan oleh rahmatNya serta yang pintu ampunanNya terbuka lebar sepanjang saat. Tuhan dimana kamu bisa ngobrol dan bercinta dengannya kapan saja, dimana saja tanpa perlu perantara seperti kamu akan menemui pejabat negara yang penuh dengan birokrasi dan tetek-bengek yang mempersulit. Tapi yang diperkenalkan kepadaku adalah Tuhan yang Maha Pedih siksaNya atau yang Maha Besar ancamanNya. Tuhan yang hanya bisa ditemui dengan melakukan ritual-ritual tertentu saja. Tuhan yang kalau kutemui harus sopan bangeeeeeetttt berbicaranya. Tuhan yang hanya bisa mengerti satu bahasa.

Apakah yang sedangku Tuhankan sekarang? agama? atau Tuhan itu sendiri?. Kadang pikiran-pikiran itu muncul dan aku berusaha mencari jawaban untuk itu.

Tuhan memang teramat dekat, sehingga sering terasa teramat jauh. Tuhan ada dibalik mata, sehingga sering tak mampu melihatNya. Tuhan ada didalam telinga, sehingga sering tak mampu mendengarNya. Sehingga Tuhan berfirman melalui sahabatku yang lahir di abad ke-6 itu Muhammad bin Abdullah dalam sebuah hadist Qudsi : "Siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya."

Sudahkah kau mengenal dirimu??????

Thursday, May 17, 2007

C I N T A

Cobalah mencintai seseorang, bukan sekadar mengharap kamu akan mendapat sesuatu dari dirinya. Cintailah dia karena dia. Bukan sekadar karena bening matanya menenggelamkanmu dalam samudera rasa tak terperikan, apalagi cuma karena bau tubuhnya membangkitkan saraf-saraf birahimu. Tetapi dengan penerimaan pada kompleksitas dan kerumitan dirinya, pada kekurangan dan ketidaksempurnaannya.
Cinta tak harus memiliki...
Cinta tak juga harus bersama...

Begitulah kata orang. Tetapi, betapa nikmatnya, ketika bercinta kita bisa memiliki dan selalu bisa bersama dengan yang kita cintai. Rasa ini, memiliki dan bersama yang dicintai, rasa yang sudah lama ku tinggalkan. Saat itu pemikiranku sampai pada pemahaman yang sangat kupegang teguh.

Kau bukan milikku...
Dan aku bukan milikmu...
Bahkan aku sendiri bukanlah milikku...

Cintailah cinta. Cintai hanya cinta itu saja. Maka saat itu kau tidak akan terluka. Bahkan saat yang kau cintai tidak membalas cintamu atau tidak mencintaimu lagi.

Begitu caraku memandang cinta dan kepemilikan. Lalu aku tersandung pada kejadian yang membuat hati ini miris. Karena saat ini aku begitu ingin memiliki yang kucintai. Ingin selalu bersamanya. Dan itu tidak bisa. Masalahnya bukan pada ketidak-bisaan itu, tetapi pada aku yang kemudian mempertanyakan kepada diri ini tentang pemahaman yang selama ini aku yakini. bukankah orang yang sudah memahami konsep cinta dan kepemilikan seharusnya bisa selalu menerima bahwa cinta tidak sama dengan kepemilikan? Bagiku cinta bukan mengekang tapi membebaskan.

Cinta dan sayang...Dua kata yang suka dibeda-bedakan. Katanya kalau sayang belum tentu cinta, tetapi bila sudah cinta pastilah sayang. ah...orang mulai terpenjara dengan kata. Bagiku sendiri, sayang dan cinta hanya untuk membadakan kadar, intinya sama. Sama-sama untuk menunjukkan adanya rasa Kasih. jadi saat ditanya sayang atau cinta, maka bagiku sama saja.

Sama seperti saat seorang cowok yang naksir kepadaku menanyakan apakah aku cinta kepadanya? aku menjawab "iya, aku cinta", lalu ia bertanya lagi apakah aku cinta juga kepada pasanganku? aku lagi-lagi menjawab "iya, aku cinta". Lalu ia menggugatku. Katanya aku tak bisa mencintai dua orang sekaligus dalam satu waktu. Aku harus memilih. Bagiku apakah saat aku mencintai orang lain maka aku tidak bisa mencintai yang lain? bagiku semua harus dicintai, disayangi, namun dengan kadar yang berbeda-beda mungkin, atau dengan cara yang berbeda-beda pula. karena C I N T A itu universal, maka jangan pernah mengkotak-kotakkannya dalam keinginan-keinginan kita tentang cinta, apa lagi sampai memenjarakan makna cinta itu sendiri.

Cinta juga harus proporsional kukira. Tidak bisa juga saat seseorang mengatakan cinta lalu itu artinya sebuah pengekangan, pengekangan akan cinta...yaitu kepemilikan. Aku sering mengatakan bahwa aku menyayangi mereka (cowok-cowok yang naksir kepadaku). Namun kemudian mereka meminta aku untuk menyayangi atau mencintai hanya mereka saja. Padahal dijiwa ini, mereka sudah punya porsi tersendiri, tempat sendiri-sendiri. Tidak ada satu saling menggantikan satu dengan yang lain. Yang ada hanya itu, perbedaan kadar. Bahwa si A ada didalam jiwaku, si B juga ada disana, Si C-Z ada juga disana. Tidak ada yang saling menggantikan, hanya saja pada saat aku melakukan hubungan yang lebih dalam dengan si C, mungkin kadarnya akan berbeda dengan si A, B atau Z, tapi aku masih sayang kepada mereka. Jadi tak salah bila ditanya apakah aku sayang/cinta kepada mereka? aku akan menjawab "YA"

Cinta harus berkorban...

Pecinta sejati tidak pernah mengorbankan apapun. Karena apapun yang dilakukan pecinta untuk yang dicintainya semua berdasarkan cinta. Dan apapun yang dilakukan demi cinta bukanlah suatu pengorbanan, melainkan suatu kesenangan dan kebahagian. Bila sudah cinta maka tak ada kata pengorbanan disana, yang ada hanya kesenangan, kerelaan, kebahagian.

Saat ini banyak orang yang terluka dengan cinta mereka. Bila dipikir-pikir, saat rasa itu masih ada sebenarnya mereka belum benar-benar cinta. Mereka hanya mencintai keinginan-keinginan terhadap yang dicinta. Maka pada saat yang dicinta tak sesuai dengan keinginan mereka, mereka kecewa, sedih dan terluka. Namun bila cinta itu hanya mencintai cinta itu sendiri, maka apapun yang terjadi terhadap yang dicintai, cinta itu tetap bersemi dihati dan jiwa.

Aku pernah menanyakan kepada seseorang, saat aku rasa seseorang itu telah banyak melakukan yang bagi sebagian orang di sebut pengorbanan. Yang kutanyakan adalah apakah dia merasa terbebani dengan hal-hal yang bila orang lain mungkin tidak mungkin mau melakukannya? dan itu dia lakukan untuk orang lain. Orang ini hanya menjawab kalau seseorang sudah mencintai sesuatu, maka apapun yang dilakukannya berdasarkan cinta bukan keterpaksaan yang membebani. Dan yang mebuat aku salut adalah dia mengatakan tidak akan menyesal saat yang dicintainya meninggalkannya.
Karena cinta itu proses. Saat kita melakukan sesuatu untuk yang dicintai, "saat-saat" itulah kita menikmatinya. Nikmati prosesnya, jangan hasilnya. Karena hasil bukan milik kita.

Cinta Ilahi

Berbeda dengan mencintai makhluk, cinta kepada Tuhan memberikan segalanya kepada kita. Selain cinta dan rasa rindu yang selalu menggelora, kita juga bisa memilikiNya. Dan sekaligus, bisa selalu bersamaNya. Kurang apa lagi!?!

Aku mulai bisa mencintaMu hanya dengan cinta itu. Tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi pada diri ini. Aku bisa tersenyum saat harus berpisah dengan orang yang ku cintai, bisa tetap tertawa disaat lagi tidak punya uang, sakit, dikecewakan, etc...bahkan aku bisa menggugatMu untuk hal-hal yang tidak aku pahami mengapa Kau adakan hal tersebut, semua karena ada Engkau. Aku mencintaiMu dan aku mencintai apapun perlakukanMu kepadaku. Karena bersamaMu aku bisa tenang dan bahagia, Kaulah yang menemani tidur malamku, aktifitas kerjaku, teman diskusi saat aku merasa terpuruk dikehidupan ini.

"Ta..." begitu aku memanggil Mu
"aku lagi binggung niy..."
"yuk duduk disampingku..."

Itu saat aku begitu kangen dan ingin curhat kepadaMu. Dan kita mulai berbicara dengan bahasa kita. Ya...bahasa yang hanya kita yang mengerti. Hanya Kau dan aku.

"Taaaaaaa...."
"hi...aku kangen"
"kita nge-date yuk malam ini..."

Date bersamaMu bagiku adalah saat kita bisa saling ngobrol dan Kau menjawab pertanyaan-pertanyaanku, diselingi cumbu itu.

Terima kasih Ta...

Wednesday, May 9, 2007

Suara Itu..

Terus coba kuabaikan suara itu. Namun suara itu tetap memanggil dengan kelembutannya. Suara itu begitu merdu dan menggoda jiwa ini untuk menghampirinya. Namun aku tak kuasa untuk menghampiri.
Ah, suara itu terdengar lagi. Ada apa gerangan? Apa itu suara kematian? Tak mungkin, ini bukan suara kematian. Suara kematian tidak begini, suara ini begitu merdu. Bagaikan seorang kekasih yang memanggil belahan jiwanya. Atau ini suaraMu kekasih?
Kekasih yang sudah lama kutinggalkan dalam pertemuan ritual, karena aku sering bersamaMu disaat santaiku. Kadang Kau ikut menemaniku dikampus, dikantor atau saat aku berada dicafe. Tapi sejak "hari itu" Kau ku tinggalkan entah di halte mana atau tertinggal dirumah, aku tidak ingat lagi. Apakah Kau yang memanggilKu?