Sunday, August 5, 2007

Kembali Aku

Kembali aku memikirkanmu. Dan kini pikiran-pikiran akan dirimu, berkelebat bagaikan petir di gemuruhnya hujan pagi ini. Menyapamu dan kembali kau palingkan wajahmu

Keterasingan adalah aku dan kau selalu berada dalam gemuruh serta gegap gempita suara yang memujamu. Bila kita dipersatukan maka itu adalah hanya ilusi yang coba kubangun, kucoba merasakan tanpa tahu artinya. Terkadang cahaya bulan sudah membuat aku merasa itulah cahaya keabadian, sampai nanti datangnya sang fajar dengan matahari membawa cahaya yang lebih terang. Lalu aku terhenyak di ketiadaan. Coba bertahan, malah membuat aku semakin bimbang.

Obrolan-obrolan kita menjadi hambar dan tak memiliki cita rasa lagi sejak aku mulai kembali dengan keegoisanku dalam mengartikanmu. Sehingga kau mengatakan kepadaku bahwa kau tak lagi bisa memahami bahasa-bahasaku. Walau menurutku kau salah saat mengatakan itu. Akulah yang tidak memahami bahasamu. Tuhkan, aku kembali menjadi si egois yang memaksamu dan menafsirkanmu sesuai seleraku.

Kau katakan aku si benar dan salah adalah bagian utuh dari dirimu. Aku hanya terdiam. Karena aku telah menafsirkanmu dengan segala keegoisanku, tanpa belajar untuk melihatmu secara utuh.

Aku ingin bertanya padamu saat ini. Apakah bisakah kita kembali berjalan dilorong sempit itu dikost-an yang kumuh sambil bergandengan tangan, atau menyanyi penuh semangat bersama pengamen itu, atau sekedar jalan sejajar dengan ibu separuh baya itu, atau bahkan melewati jalan pegunungan Lawu dalam kesunyian yang magis? Tapi bibirku seakan kaku dihadapanmu.

Kembali aku tidak bisa memaknaimu. Usaha apalagi yang kurang agar kebersamaan kita tetap utuh? Sergahmu suatu kali dimalam saat bintangpun enggan menemaniku. Tanpa kusadari, aku mulai mengganti baju-baju yang dahulu satu persatu kau lepaskan dari diriku dengan kain-kain yang kini membalutku lebih erat kepada kebodohan.

Lambat laun keterasingan itu mejadi akrab denganku. Karena keterasingan itu adalah aku. Gemuruh angin membawaku bersamamu. Kini angin itu pula yang telah menghentikan langkahku mengikuti jejakmu. Hujan itu selalu datang bersamamu, sama seperti datangnya pelangi sesudahnya.

Memanggilmu, membacamu, berbincang, bercinta atau sekedar menyapamu seperti tugas rutin bagiku. Dengan segala keterbatasan ruang dan waktu. Ah, kau masih saja begitu. Selalu mengambil tempat disudut kamarku dan memandangiku yang rindu padamu.

Namun kini aku begitu malu padamu. Sehingga tanganku tak berani menarikmu lebih dekat lagi padaku. Mungkin nanti saat aku telah mampu melepaskan kain-kain yang telah memasungku, aku akan kembali menemui lagi. Atau boleh aku berharap lagi padamu agar membantuku melepaskan semua itu lagi? Walau kutahu kau akan menjumpaiku dengan rasa yang sudah berbeda. Tapi kau tahu bahwa aku masih sama terhadapmu. Masih merindukan perjumpaan dan segalanya bersamamu.

Kulihat hujan yang membawa petir itu telah mereda. Meninggalkan sisa-sisa patahan ranting pohon dan kubangan air dijalanan. Walau rintik air masih membasahi diriku tetap kuberjalan mencarimu dalam kegalauan menanyakan pada diriku akankah aku menemukanmu. Kembali ingin aku menatap pelangi itu bersamamu.