Saturday, August 4, 2007

Perjumpaanku

dia adalah sesuatu yang tak terdefiniskan

Untuk mencarimu, bersama angin aku pergi ketimur. Sambil diam-diam kukejar terbitnya matahari. Sementara waktu dan aku beringsut menjemputmu, debar-debar aneh menggila dan melesak pada dalamnya dan pelan menyentuh dasar telagamu.

Aku tetap beranjak ketimur. Semakin ketimur semakin beragam kutemui wajahmu. Ya benar, aku menemukan wajahmu dalam pepohonan yang kamu, gerbong kereta yang kamu, pengamen yang kamu, ibu setengah baya yang kamu, semuanya adalah kamu. Dunia dan segala isinya tidak ada yang lain kecuali kamu. Inikah yang dikatakan kau maujud dalam segalanya. Kaulah segalanya Ta.

Ta, begitu aku selalu memanggilmu. Ta yang berati Cinta. Karena kupikir hanya itu yang kutahu tentangmu. Kaulah Cinta segala dan dengan segala Cinta

Kau ingat waktu itu Ta? Ketika dalam gigil ngeri kubisikan takbir untukmu, waktu itu seluruh semesta menyahut dengan rasa yang sama. Ribuan, ratusan bahkan jutaan takbir diserukan dengan cara dan bahasanya masing-masing. Mereka memujamu Ta. Ya, hanya memujamu. Burung yang pulang kesarang, air yang mengalir, gemulai ombak, banjir bahkan sampai gempa adalah takbir untukmu Ta. "Peganglah dadaku sayang, rasakan deburnya" bisikmu terbawa angin.

Kusambut tanganmu dan kupegang, kusentuhkan lekat di hati.

Ah, waktu berhenti seketika itu, dan betapa dahsyat rasanya aku tenggelam di dalammu. Kau hanya memandangku lekat. Dan diam. Jalanan lenyap dengan riuhnya. Pohon, bunga, patung, ribuan gedung dan nyala api termangu lalu kembali berebut bertasbih untukmu.

Aku mungkin mendahuluimu ditanah lapang itu, tetapi selebihnya kaupun mengerti. Kaulah mata air itu. Walau bila jujur, sebenarnya aku dibingungkan oleh antara mencintaimu, mencintai apa yang dicintaimu, mencintaimu dan kepadamu atau cinta bersamamu? Entahlah, cintaku adalah seluruh diri yang kuserahkan untukmu hingga tak ada lagi bisa disisakan.

Siapa yang kau cintai? Ah, kenapa kau ajukan pertanyaan itu lagi Ta? Tentu kau Ta, dan hanya kau. Bukan saja pertanyaan itu tidak adil. Tetapi apakah kau lupa atau sekedar menegaskan keraguanku? Mungkin aku tak memahami al-Hallaj ketika dia mengatakan kau ada dalam jubahnya. Tetapi aku yakin mereka berkata benar tentangmu.

Ketika aku memandangmu dari disudut ini. Semua nyala api dan panasnya bertekuk dilututmu dalam cinta. Bersama pijar matahari, kau menyelaku dengan pertanyaan-pertanyaan itu. "Kemana perginya matahari kala senja, atau sebenarnya dia tak ternah pergi?" Aku terhenyak, ya karena selalu dengan pertanyaan itulah kau mengusikku. Ta, bukankah kau tahu caraku mencintaimu adalah dengan cinta itu sendiri.

Ta, kau memang tak pernah memintaku. Tetapi ijinkan aku selalu bersujud dengan cinta di bawah tahtamu. Hanya itu Ta bahasa yang kutahu untuk memahamimu. Pagi, siang dan malam aku hanya ingin menjemputmu kemudian melelehkan diriku dalammu. Menghirupkannya di nafas dan menciumnya lekat semampu yang kubisa. Ah, selalu kau telah menunggu, sambil menghitung satu persatu keringat yang menetes dari keningku, ah dan kau selalu mengusapnya untukku. Ada saatnya aku ingin menjadikanmu patung dan kugenggam erat sambil meletakkannya disudut ruang itu.

Ta, aku mencintaimu dalam perjumpaan pertama itu.

(Sebenarnya ribuan waktu telah aku siapkan untuk saat ini, ciuman di kening, lilin, Jogja sampai Lawu. Selain itu, tak lupa kukemaskan sebait takbir dan sepotong lagu Internasionale)