Friday, July 27, 2007

Apakah Kau Letih

Aku mengenangnya sebagai seorang yang karib dan menyimpannya di dada. Dekat sekali dengan hati untuk di cintai. Menyematkannya pada secarik kertas, dan menulisinya dengan kata-kata penuh sayap di kedua punggungnya. Indah? Mungkin. Tetapi itu tak terlalu penting setelah sering malam-malam dihabiskan bersama untuk membaca. Membaca bintang, garis tangan atau tanda tahi lalat didada. Ya, kita baca segalanya sampai semua aksara dan kata kehilangan maknanya.

Suatu kali aku berkata padamu, "Sekarang aku sedang mencari jawaban kenapa aku mati tetapi aku hidup atau kenapa aku hidup tetapi aku mati." Atau kali-lainya, "Aku berpikir jahat ya? Ah, nggak lah, kupikir semua alami dan setia pada proses kok." Begitu aku menjawab pertanyaan yang ku ajukan sendiri.Kau tersenyum, tentu saja!! Dan aku tahu kau tertawa diam-diam ketika aku memalingkan wajahku menghadap kelangit. Seolah mencari jawaban disana.

Aku adalah penanya yang menyebalkan mungkin bagimu. Padahal kau sudah membawa-bawa nama paman Descrates untuk membuat aku berhenti bertanya sebentar saja, dengan sabar kau katakan "Kadang Descrates itu nggak selalu benar kok, cogito ergo sum...aku berfikir maka aku ada." Sampai suatu hari kau menyarankan aku agar diam sejenak dan membiarkan alam yang menentukan dan menemukan rumus-rumusnya. Dan sudah sifatku untuk ngotot dengan kemauan ku. Sampai hilanglah kesabaranmu, waktu itu aku mengatakan bahwa fitrah manusia itu ingin tahu. Dan kau ingat apa jawabanmu waktu itu? Kau lupa? Sini ku copy paste kan untuk mu (A_o : Ya...tapi banyak bertanya juga nyebelin lagi...). Wkakakaka... akhirnya sang nabi berubah menjadi umat. hihihi...oups sorry.

Sebetulnya dari awal kau bersepakat denganku. Membacanya adalah tafsir, dan mencintainya adalah hak. Sepakat untuk itu. Tetapi selebihnya kau menolak. Ya, kau menolak percintaanku yang sangat personal itu. Betul, cintaku adalah hak sekaligus kewajiban. Tetapi seperti selalu kaukatakan padaku, dia tetaplah ide, ya ide.

Yups, karena dia hanya ide maka dia tak punya tangan dan kaki yang menginjak di bumi. Padahal menginjak di bumi penting dan membuat sentuhannya riil serta konkrit. Dia masih peminjam mulut, peminjam tangan, meminjam kaki kita serta menggunakan otak serta nalar kita untuk menciptakan dunianya. "Sebenarnya, dia yang menciptakan kita atau justru kitalah yang menciptakan dia"

Sampai sini tentu saja aku bungkam. Bukan karena aku tak punya jawaban. Bungkamku karena, dia disini berkuping tipis serta berusus pendek. Begitu dia, begitu juga umatnya. Dia ditempatku jejaknya bisa dirunut pada orang-orang berjenggot dan bersorban yang merazia diskotik, meledakkan diri dengan ransel penuh bom atau menyesali ditolaknya Piagam Jakarta. Itu satu sisi. Sisi yang berseberangan juga tak kalah ekstrimnya. Mereka membajukan dia dalam kacamata-kacamata kekinian. Semuanya menjadi boleh.

"Kalau kamu?" Ah, nggak tahu. Aku hanya merasa, agamaku berbuat baik saja. Aku bukanlah pengikut Seikh Siti Jenar atau Sunan Kalijaga. Tetapi satu hal aku juga tak sepakat Arabisasi di tanah ini. Kenapa begitu, karena kupikir dia itu tumbuh kok. Tumbuh bersama manusia, menemani makan, menemani tidur, menemani kerja, menemani bercinta, atau kadang menemani kita ketika ngobrol. Yups, karena dia tumbuh dia mengerti kita. Sangat mengerti segala macam problem manusia. Selain itu dia sangat jauh dari sifat egois dan narsis, yang mengkoleksi nama-nama baiknya sendirian.

Ao, dia ku mungkin beda dengan dia mu. Tetapi selain itu kita punya banyak persamaan. Setidaknya kita sepakat bahwa jalan terbaik adalah jalan yang ditawarkan kawan dari Hijaz itu. "Rahmatan Lil Alamin?" Sip, itulah intinya Ao. Dia bukan pendendam yang suka main balas dengan ancaman neraka. Diaku juga bukan tukang sogok yang kemana-mana menenteng kapling surga dan dijajakan ketengan. Bukan. Sekali-kali diaku bukan seperti itu. Diaku adalah dia yang menenangkan tangis seorang anak kecil yang lapar. Diaku juga dia yang karib, yang sukarela blusak-blusuk di gang sempit dan becek sambil menebar senyum yang menguatkan. Dia ku juga dia yang merengkuh bahu, mengecup kening dan membibing si buta menyeberang.
Ya...
Diaku adalah dia.