Thursday, June 21, 2007

Jejakku ; Kita ada dimana Ta?

Aku meringkuk dalam gigil yang pekat di sudut ruang yang tak berbatas rasa. Di depanku tergelar lambat fragmen-fragmen kenangan, ia berloncatan seperti peluru liar yang di tembakan menyapa lesannya. Ada sepi, ada senyap dan ada saja riuh aneh yang menghujam jauh kedasar hati meninggalkan maha perih yang akrab. Ta, kau tahu kupunggungi nasib yang sunyi bisu untuk sampai padamu disini sambil mendekap erat rasa aneh di perut yang pelan-pelan menjalari.

Di luar, hujan masih menderas pagi ini. Suara dentingnya menghempas genting dan melontarkan percik-perciknya memudar. Gang depan rumah tergenang pelan dan keriangan merunyap dalam pagi bermendung. Seperti tersadar, ternyata dihadapan kita hanya ada sepotong kue keju dibagi dua berteman kopi diatas tikar pandan. Ta, girisku tercenung akan waktu yang tersedot dalam pusaran ngeri menjadi penjara untukmu kah?

Seekor kecoa sengaja melintas menyelinap dari celah pintu, bergerak cepat menyusuri tikar pandan. Sungutnya yang panjang bergerak-gerak genit sementara mulutnya menyunggingkan senyum seperti meledekku. Tahu nggak Ta, remah kue keju menghentikan langkahnya. Eureka!! Kue keju itu lebih dari cukup untuk membahagiakannya. Aku malu Ta, sungguh-sungguh malu. Kecoa itu menampar telak kesahajaan di jantungku.

Aku ingat Heru Ta, juga ingat Candra yang bersemangat. Juga ingat malam kemarin yang penuh senandung di terminal Blok M itu. Ah, mereka begitu ringan melawan takdirnya. Sederhana saja, hidup adalah menyanyi. Setidaknya dalam perut bus AC jurusan Blok M-Kalideres cerita tentang bertahan di Jakarta menjadi begitu riangnya.

Dimana mereka ya Ta? Ketika malam tergelincir dan bulan mengintip malu-malu, kita meninggalkan janji dalam sepotong kata. "Kakak yang menyanyi, aku yang pegang gitar dan biar Heru yang membuka salam" ujar Candra masih bersemangat. Paginya dering telepon dan sekalimat pesan pendek untuk Candra tak berbalas. "Mungkin repot, bagaimana bisa balas sms bila sambil pegang gitar" ujarmu padaku. Ucapanmu barusan malah kembali menghadirkan bayangan Candra dan Heru dalam lamunku, berlompatan dari satu bis ke bis yang lain. Sambil menyanyi, sambil mentertawakan Jakarta kulihat mereka mengacungkan jari tengahnya pada gedung jangkung yang sombong.

Taukah kau apa yang kurasakan sekarang Ta? Memandangi jejakMu yang menembus petak-petak berhimpit dan beradu sikut sangat meletihkanku. Kenapa ? Karena aku mengenal betul rasa itu dan tentu saja aku menggugatMu! Bagiku kau mirip Kisra yang sembab mengenang benteng-benteng perkasanya yang jatuh satu persatu ketangan musuh. Ketika perlahan tapi pasti musuh mengepung istana, tak ada lagi harapan. Ya, semua selesai begitu saja.
"Seperti Kisra akupun akhirnya menyetubuhi takdirku dengan terpaksa" ujarmu menahan sedu itu.

Ta, kupanggil namaMu di lereng Cemoro Kandang, Tamansari sampai Penggik di Lawu. Panggilanku menembus kabut dan melenyap bersama dingin, sementara yang kudapati hanya senyap dan bau belerang yang menyengat. Ah Ta, aku ingin menghentikan waktu dan menyelusupkan kenangannya menjadi pedang tajam yang mengiris nasib serta memotong-motongnya menjadi serpihan kecil lalu menghembuskanya pada matahari.

Aku mencium edelweiss itu. Menghirupkan aromanya pada hati dan menyemayamkan keabadiannya disana.