Wednesday, June 27, 2007

Jejakku ; Mendaki Lawu

Stasiun Tanah Abang di malam yang masih sangat muda. Dalam perut KA Bengawan kugolekan tubuh bercampur kumuh, dekil dan bau yang menyatu bersama cinta. Bau keringat sahabat -sahabat yang belakangan ini coba kuakrabi untuk membaca-nya. Membaca bahasa-bahasa mu yang terserak sepanjang perjalanan.
Ketika ular raksasa itu perlahan beranjak dengan dengus, pepohonan menjelma menjadi bayangan hitam yang berlarian sepanjang jalannya, juga rumah-rumah kumuh dibantaran kali berebut cepat mengejar ekor kereta. Ya, aku melihat-mu lagi, di bordes kereta beralaskan selembar koran, kau meringkuk bertubuh pengemis tua bermata buta.
Sebetulnya waktu itu aku ingin sekali menyapa-mu, sambil diam-diam kusorongkan sepotong doa kewajah-mu yang lelah itu. Ah, sepertinya Kau nampak lebih tua dengan segala carut-marut dunia ini. Bahkan rambut-mu pun sebagian terlihat memutih, ditambah lagi kerut-merutnya kerentaan yang tercetak diwajah. Kamu capek ya?
Pada akhirnya memang kuurungkan teriakku, teriak yang nyata-nyata akan kembali menyakiti-mu. Sebagai gantinya kubisikkan selarik kalimat lirih tepat ditelinga-mu. Mana janji-mu sayang? Atau kau pura-pura lupa dan berlagak tertidur lelap diayun kereta?
Andai kau lupa, biarlah kusegarkan ingat-mu; "Dan kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi."
Bukankah itu janjimu ? Tetapi apa yang mereka warisi. Remah dan sisa pesta serta piring-piring kotor yang menunggu di bersihkan. Karena nyatanya yang kupotret di sepanjang bantaran-bantaran sungai dan juga digang-gang gelap, sahabat-sahabatku tetap menjadi budak. Budak yang dikebiri kesadaran kelasnya. Terbudakan karena struktur yang menindas serta tangan-mu yang mencengkeram erat sambil meminjam nama takdir membungkam kehendak bebasnya.
Ah, selalu kau bohong lagi? Karena tak pernah sekalipun kulihat kau akrab dengan mereka, bahkan sepanjang yang kutahu, kau lebih nyaman di suap dengan baju-bajuan serta ritual-ritual yang konyol itu khan? Juga selalu kau palingkan wajah-mu dari bersitatap dengan mereka.
Aku menggugat-mu lagi. Karena kau pikir mereka bisa memilih dari rahim mana dan dari kelas apa mereka dilahirkan? Milyaran doa yang mereka terpanjatkan tiap detiknya terpental kembali ketika mencoba menggapai kursi-mu. Kupikir segala keluh yang dikemas menjadi ratap dan pasrah adalah bodoh. Karena toh milyaran doa tetap tersia-sia setiap detiknya. Haruskah kuhabiskan waktuku untuk menunggu-mu?
Ah, yang ku tahu sekarang, dadaku hanya penuh oleh marah dan kecewa pada-mu. Aku kecewa karena kau lebih memilih wajah Heruka yang dashyat dan bercorak demonic untuk menunjukan kuasa-mu. Begitukah? Berbahagiakah kau dengan persembahan-persembahan ala Tantrisme Bhirawa yang berdarah-darah itu?
Sebotol air mineral kuteguk pelan sambil kuraih makan malam sekedar meredakan marah; nasi bungkus bertumis kangkung serta sepotong ayam goreng warung tegal.
Ular raksasa yang kutumpangi masih tetap tak perduli, berlari menembus pekat sambil mulutnya rakus menelan jarak dan asapnya sendiri. Menjelang Cirebon, Bumiayu, lalu Purwokerto terlewat ditengahnya malam. Menyusul Kroya, Gombong dan Kuthoarjo ketika langit di timur menyala. Jogja terlewat bersicepat dengan pagi, dan Solo Jebres terhenti di sepenggalah matahari.
Dan dingin langung mendekap erat ketika Tawangmangu terus naik ke Cemoro Kandang. Ah, nasi pecel Pak Mo rasanya masih abadi seperti dulu. Sepotong tempe goreng, telur dadar, teh manis berteman latar-belakang kampung-kampung dikaki kejauhan bukit terasa khidmat.
"Aku menyerah, kita bermalam disini saja" ucapku dengan kalimat putus-putus padamu. Nafas yang tinggal seujung seperti bertaruh dengan penat setelah sepanjang sore menyusuri jalan mendaki dari Cemoro Kandang sampai terhenti di Penggik ini.
Langit yang rebah dengan ribuan cahaya yang berbaur dengan pijar bintang mengukir warna-warna aneh di kakiku. Berbalut kabut dan gigil dingin, tubuhkulah yang sekarang meringkuk dalam kantong tidur. Dingin dan dingin sekali.
Paginya seekor burung Jalak gunung membangunkanku dengan gunjingnya. Bulunya yang sewarna tanah nyaris mengecohku ketika kubiarkan dia nyeruput kopi sisa semalam. Aroma Anaphalis Javanica menyergap hidungku. Wanginya nyaris memingsankanku karena rasa indahnya seperti ekstase oleh gemuruh serotonin yang membanjir.Ah, sekali ini aku ingin ekstase lagi oleh mu, terbakar dan lebur bersama cahaya pagi yang menghangatkan tubuhku. Ya, aku melihat-mu lagi, dalam selarik cahaya di horizon. Kau maujud dalam terang seperti Amun-Ra yang menginspirasikan pyramid-pyramid megah dibangun.
Tuh kan kau mengeluh lagi, aku agak bawel dalam mencintai-mu ya? Karena kau yang ingin kucintai, adalah kau yang ramah terhadap lapar dan pedih. Ah, kaukah itu yang kutemui dalam tetirah ku kali ini ke Lawu? Atau perjalanan ini sia-sia saja?
"Tak ada yang sia-sia kupikir, seperti jelata jawa yang berduyun-duyun menggapai puncak menjelang 1 Syuro di Lawu, ini adalah perjalanan untuk menemukan sang pangeran dan pengakuan ketertundukannya pada sang pribadi" ujar sebuah suara lekat di telingaku seperti berbisik.
Ah, ternyata tetaplah aku jelata di hadap-mu.